Selasa, 28 April 2015

Akuntansi Komparatif : Amerika dan Indonesia

Harmonisasi dan Konvergensi Pencatatan Amerika dan Indonesia

Globalisasi membawa implikasi bahwa hal-hal yang dahulunya merupakan kewenangan dan tangungjawab tiap negara akan dipengaruhi oleh dunia internasional. Demikian pula dengan pelaporan keuangan dan standar akuntansi suatu negara. Tentu saja hal ini akan menimbulkan suatu masalah ketika standar akuntansi yang dipakai di negara tersebut berbeda dengan standar akuntansi yang dipakai di negara lain. Investor dan kreditor serta calon investor dan calon kreditor akan menemui banyak kesulitan dalam memahami laporan keuangan yang disajikan dengan standar yang berbeda-beda, sehingga hal ini menyebabkan laporan keuangan yang dibuat oleh perusahaan di suatu negara tidak akan dapat diterima di negara lain,  khususnya untuk perusahaan yang multinasional. Untuk mencegah munculnya permasalahan-permasalahan yang diakibatkan adanya perbedaan dalam standar akuntansi yang digunakan oleh berbagai negara, Dewan Komite Standar Akuntansi Internasional (Board of IASC) yang didirikan pada tahun 1973 mengeluarkan standar akuntansi internasional (IAS). Keluarnya IAS tersebut diikuti dengan beberapa intepretasi tentang IAS dalam bentuk SIC (Standing Intepretation Committee).

Setiap negara pastinya mempunyai standar akuntansi nasional untuk negaranya masing-masing, entah itu dengan membuat sendiri maupun dengan mengadopsi standar akuntansi dari negara lain atau dari standar akuntansi internasional untuk kemudian dijadikan sebagai standar akuntansi untuk negaranya, menggingat penerbitan regulasi akuntansi (standar) adalah sebuah proses yang mahal. Namun setiap negara mempunyai cara yang berbeda-beda sehingga antar satu negara dengan negara yang lain bisa berbeda standarnya.  Standar akuntansi di Amerika Serikat memperbolehkan goodwill dikapitalisasi dan dijadikan beban hanya jika goodwill tersebut mengalami penurunan nilai, sedangkan di beberapa negara lain goodwill dapat diamortisasi dengan periode yang berbeda-beda. Setiap negara memiliki cara pencatatan yang berbeda-beda. Ini dapat memperlambat kinerja dari perusahaan multinasional, maka diperlukannya harmonisasi atau konvergensi.

Harmonisasi berarti dapat juga berarti sebagai sekelompok negara yang menyepakati suatu standar akuntansi yang mirip, namun mengharuskan adanya pelaksanaan yang tidak mengikuti standar harus diungkapkan dan direkonsiliasi dengan standar yang disepakati bersama (Sadjiarto, 1999). Mogul (2003) mendefinisikan harmonisasi standar akuntansi sebagai proses yang berkesinambungan untuk memastikan bahwa prinsip akuntansi yang berlaku umum dirumuskan, selaras dan diperbarui dengan praktek internasional terbaik (GAAPs di negara-negara lain) dengan modifikasi sesuai dan mempertimbangkan kondisi domestik. Secara sederhana pengertian harmonisasi standar akuntansi dapat diartikan bahwa suatu negara tidak mengikuti sepenuhnya standar yang berlaku secara internasional. Negara tersebut hanya membuat agar standar akuntansi yang mereka miliki tidak bertentangan dengan standar akuntansi internasional.
Konvergensi dalam standar akuntansi dan dalam konteks standar internasional berarti nantinya ditujukan hanya akan ada satu standar. Satu standar itulah yang kemudian berlaku menggantikan standar yang tadinya dibuat dan dipakai oleh negara itu sendiri. Sebelum ada konvergensi standar biasanya terdapat perbedaan antara standar yang dibuat dan dipakai di negara tersebut dengan standar internasional.

Konvergensi standar akan menghapus perbedaan tersebut perlahan-lahan dan bertahap sehingga nantinya tidak akan ada lagi perbedaan antara standar negara tersebut dengan standar yang berlaku secara internasional. Program kovergensi IASB (International Accounting Standard Board) mengharapkan bahwa standar akuntansi di dunia menjadi satu. IFRS sebagai standar global dalam konvergensi tidak hanya dipatuhi dalam pengaturannya saja oleh badan penyusun standar tetapi juga harus dipatuhi dalam penerapannya oleh para pengguna.

Hambatan-hambatan dalam Harmonisasi dan Konvergensi Standar Akuntansi Internasional
1.                  Penerjemahan Standar Inter­nasional
IFRS diterbitkan dalam bahasa Inggris. Untuk memu­dahkan pemahaman pengguna standar maka IFRS perlu diterjemahkan dalam bahasa masing-masing negara. Hal inilah yang menjadi masalah utama dalam adopsi dan penerapan IFRS. Permasalahan ini timbul karena para penerjemah mengalami kesulitan dalam memahami arti sebenarnya istilah-istilah dalam teks bahasa Inggris tersebut.
2.                  Ketidaksesuaian antara  Stándar Internasional dan Hukum Nasional
Masalah utama lainnya adalah ketidaksesuaian antara standar internasional dengan hukum nasional. Pertama, pada beberapa negara, standar akuntansi termasuk sebagai bagian hukum nasional, sehingga standar akuntansi ditulis dalam bahasa hukum sehingga harus diubah oleh dewan standar akuntansi masing-masing negara.
3.                  Struktur dan Kompleksitas Standar Internasional
Masalah selanjutnya adalah adanya kekhawatiran bahwa standar internasional akan menjadi semakin tebal, semakin komplek, dan rule-based approach. Kekhawatiran timbul, jangan-jangan standar akuntansi akan mengatur secara detail setiap transaksi sehingga penyusunan laporan keuangan harus mengikuti secara detail langkah-langkah pencatatan suatu transaksi tersebut.
4.                  Frekuensi Perubahan dan Kompleksitas Standar Internasional
 Standar akuntansi internasional perlu dipahami secara jelas sebelum diterapkan. Hal ini tentu membutuhkan cukup waktu bagi penyusunan laporan keuangan untuk memahami standar akuntansi. Apabila suatu standar akuntansi sering berubah-ubah  maka sangat susah bagi laporan keuangan, auditor, dan pengguna laporan keuangan untuk memahami standar tersebut, apalagi menerapkannya. Selain itu suatu standar akuntansi yang kompleks akan menyulitkan pengguna standar untuk memahaminya.
5.                  Kurang Buku Ajar yang Berbasis IFRS
Kesulitan dalam menerapkan IFRS sedikit banyak juga dipengaruhi dari dasar pengembangan IFRS yang menggunakan "principle based" bukan "rule based". Seh­ingga IFRS, tidak mengatur secara terinci yang nantin­ya akan menyimpang dan mengarah ke "rule based". Ke­untungan "principle based" antara lain membuat aturan­nya menjadi cukup fleksibel sehingga dapat diterima dan diterapkan di seluruh negara anggotanya (IAAP, 2006).
Sebagaimana Amerika Serikat, Jepang awalnya menolak pemberlakuan IFRS. Namun, karena dipengaruhi oleh arah pergerakan global menuju pemberlakuan IFRS, tekanan Uni Eropa dan pengaruh kuat dari Amerika Serikat, Jepang akhirnya menetapkan konvergensi IFRS pada 2009 dan adopsi penuh IFRS pada 2012

Sejak 2004, profesi akuntan di Indonesia telah melakukan harmonisasi antara PSAK (Indonesian GAAP) dan IFRS. Konvergensi IFRS diharapkan akan tercapai pada 2012. Walaupun IFRS masih belum diterapkan secara penuh saat ini, persiapan dan kesiapan untuk menyambutnya akan memberikan daya saing tersendiri untuk entitas bisnis di Indonesia.
Dengan kesiapan adopsi IFRS sebagai standar akuntansi global yang tunggal, perusahaan Indonesia akan siap dan mampu untuk bertransaksi, termasuk merger dan akuisisi (M&A), lintas negara. Tercatat sejumlah akuisisi lintas negara telah terjadi di Indonesia, misalnya akuisisi Philip Morris terhadap Sampoerna (Mei 2005), akuisisi Khazanah Bank terhadap Bank Lippo dan Bank Niaga (Agustus 2005), ataupun UOB terhadap Buana (Juli 2005). Sebagaimana yang dikatakan Thomas Friedman, “The World is Flat”, aktivitas M&A lintas negara bukanlah hal yang tidak lazim. Karena IFRS dimaksudkan sebagai standar akuntansi tunggal global, kesiapan industri akuntansi Indonesia untuk mengadopsi IFRS akan menjadi daya saing di tingkat global. Inilah keuntungan dari mengadopsi IFRS (IAI, 2008).
Sedangkan untuk perusahaan kecil dan menengah Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) pada bulan Juli 2009 telah mengesahkan salah satu standarnya yang diberi nama Standar Akuntansi Keuangan Entitas tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP). Sesuai dengan namanya maka sasaran pengguna dari standar ini adalah entitas yang tidak memiliki tanggung jawab akuntabilitas kepada publik (ETAP). SAK ETAP beranalogi dengan IFRS SMEs (Small and Medium Enterprises), bahkan semangat pengembangan SAK ETAP berasal dari IFRS SMEs namun dengan beberapa penyesuaian.

Selain itu pelaporan transaksi keuangan berbasis syariah juga terus dikembangkan, dimana Komite Akuntansi Syariah Dewan Standar Akuntasi Keuangan menerbitkan enam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) bagi seluruh lembaga keuangan syariah yang akan berlaku 1 Januari 2008. Dalam penyusunan PSAK tersebut, Komite Akuntansi Syariah mengacu  pada Pernyataan Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) Bank Indonesia, selain juga pada sejumlah fatwa akad keuangan syariah yang diterbitkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (Prabandari dan Dinisari,  2007).

Sumber : 

 Novi kurniawati. Standar  akuntansi internasional: Harmonisasi versus konvergensi




Pelaporan Keuangan dan Perubahan Harga

Relevansi : Inflasi terhadap Laporan Keuangan
Indonesia adalah salah satu negara berkembang. Masalah umum yang sering dihadapi negara berkembang adalah tingginya tingkat inflasi. Sejak krisis moneter tahun 1998, harga-harga di pasaran cenderung naik. Tahun 2007  tingkat inflasi di Indonesia adalah 6,59 persen. Hal ini bisa diartikan bahwa aktiva yang dimiliki harganya akan berkurang sebesar 6.59 persen sedangkan pendapatan dinilai terlalu tinggi sebesar angka yang sama. Pada saat ini pasar modal menjadi primadona yang dipilih investor untuk meninvestasikan modalnya. Namun untuk menginvestasikan modal dalam saham tidak semudah membalik telapak tangan. Investor harus mengetahui kemampulabaan perusahaan yang akan dibeli sahamnya. Bagaimana ketahanan suatu perusahaan dalam menghadapi persaingan dan moneter yang sulit diprediksi. Informasi mengenai suatu perusahaan yang menjual sahamnya di pasar modal dapat diketahui melalui laporan keuangannya. Laporan keuangan merupakan informasi yang penting bagi pengguna laporan keuangan dalam rangka menilai kinerja keuangan perusahaan secara keseluruhan. Informasi laporan keuangan dianggap memiliki nilai kualitas informasi jika memenuhi dua unsur yaitu dapat diandalkan (reliable) dan relevance bagi pengguna laporan keuangan.
Banyak study mengenai inflasi di negara-negara berkembang, menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term of trade; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik. Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Strucktural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu : 1. Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis. Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sektor pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.
2. Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-barang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Belum lagi ditambah dengan adanya demonstration effect yang dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Akibat dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan. 3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang (printing of money).
Historical Cost, dunia usaha pada umumnya selalu mendasarkan diri pada historical cost yaitu asumsi adanya stable monetary unit yang mengakibatkan semua transaksi yang terjadi dicatat atas dasar nilai historis atau nilai yang didapat saat terjadi transaksi. Di sisi lain disadari pula bahwa stable monetary unit tersebut pada kenyataannya tidak ada, apalagi pada Negara yang menganut ekonomi terbuka seperti Indonesia. . Penggunaan nilai historis dalam akuntansi finansial disebabkan karena beberapa alasan: 1. Relevan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Bagi manajer dalam membuat keputusan masa depan diperlukan data transaksi masa lalu. 2. Nilai historis yang berdasarkan data obyektif dapat dipercaya, dapat diaudit dan lebih sulit untuk memanipulasi bila dibandingkan dengan nilai yang lain seperti current cost ataupun replecement cost. 3. Karena telah disepakati berlakunya prinsip akuntansi pada penggunaan nilai historis memudahkan untuk melakukan perbandingan baik antara industri maupun antar waktu untuk suatu industri.
General Price Level Accounting (GPLA) Di Indonesia, General Price Level accounting dikenal sebagai Akuntansi tingkat harga umum menyatakan bahwa nilai sesungguhnya dari Rupiah (disingkat Rp) ditentukan oleh barang atau jasa yang dapat diperoleh, yang biasa disebut daya beli. Dalam masa inflasi ataupun deflasi, jumlah barang/jasa yang dapat diperoleh berubah dengan nilai uang nominal yang konstan, yang berarti bahwa daya beli Rupiah berubah. Akuntansi tingkat harga umum akan mengadakan penyajian kembali komponen-komponen laporan keuangan ke dalam Rupiah pada tingkat daya beli yang sama, namun sama sekali tidak mengubah prinsip-prinsip akuntansi yang digunakan dalam akuntansi berdasarkan nilai histories. Penyesuaian atas besaran keuangan untuk inflasi guna mencerminkan nilai harga umum atau tingkat harga umum dan penggunaan nilai yang telah disesuaikan tersebut dalam akuntansi. Perubahan tingkat harga umum dapat dihitung atau diukur dengan indeks harga. Indeks harga yang biasa digunakan adalah indeks harga konsumen, yaitu suatu indeks yang menyajikan perubahan periodic dalam biaya kelompok barangbarang terpilih yang dibeli konsumen yang digunakan sebagai ukuran inflasi.
Laporan keuangan (financial statetment) yang selama ini kita kenal adalah laporan yang Lebih mengedepankan unsur keandalan (reliabilitas) dari pada relevansinya. Oleh karena itu, salah satu prinsip penyusunan laporan keuangan digunakan adalah biaya historis (historical cost accounting). Artinya, laporan keuangan disusun berdasarkan harga perolehannya (historical cost). Konsep ini mengabaikan adanyinflasi yang nyata-nyata terjadi pada setiap negara. Inflasi akan mempengaruhi nilai dari setiap angka yang tersaji dalam laporan keuangan yang membuat informasi yang terkandung dalam laporan keuangan menjadi terdistorsi. Seperti yang dibahas sebelumnya GPLA satu konsep akuntansi inflasi yang merubah satuan pengukuran, tetapi tetap mempertahankan model pelaporan atas dasar historical cost. Tujuan pendekatan ini adalah untuk mempertahankan nilai modal menurut harganya yang tetap dengan ukuran indeks harga.
Dalam GPLA, akun-akun dalam laporan keuangan historis dikelompokkan menjadi pos moneter dan pos non moneter, kemudian diperlakukan sesuai dengan karakteristiknya. Akun moneter tidak terpengaruh perubahan harga, sehingga telah mencerminkan tingkat harga umum yang berlaku. Pemilikan akun-akun moneter akan menimbulkan keuntungan atau kerugian daya beli. Sebaliknya, akun non moneter terpengaruh perubahan harga, nilainya tidak mencerminkan tingkat harga umum yang berlaku, sehingga harus disesuaikan dengan suatu faktor konversi yang mencerminkan tingkat harga umum yang berlaku berupa indeks harga konsumen. Kas dan Piutang Dagang tidak perlu disesuaikan dengan perubahan daya beli, tetapi pada laporan keuangan yang diperbandingkan perlu ada kesamaan daya beli.
Persediaan dikonversikan, Besarnya harga perolehan persediaan tergantung dengan metode yang digunakan (FIFO, LIFO, Rata-rata, dan lain-lain) dan penggunaan metode tersebut harus konsisten. Pembayaran di muka (prepayment) disajikan dalam laporan keuangan sesuai dengan perubahan daya beli saat dilakukan pembayaran. Investasi disajikan dalam laporan keuangan sesuai dengan perubahan daya beli saat investasi terjadi. Aktiva Tetap dalam laporan keuangan disajikan sesuai dengan perubahan daya beli saat aktiva tersebut dimiliki. Hutang Lancar tidak perlu dinilai kembali karena sudah secara langsung mengikuti perubahan daya beli kecuali apabila ingin diperbandingkan dengan laporan keuangan lainnya. Kontrak pemeliharaan/langganan (advances on maintenance contracts) diukur dengan nilai konversi Hutang Jangka Panjang tidak perlu dinilai kembali karena sudah secara langsung mengikuti perubahan daya beli kecuali apabila ingin diperbandingkan dengan laporan keuangan lainnya. Pajak yang Ditangguhkan (differed income taxes) dilaporkan dalam neraca sebesar jumlah akumulasi dari penghematan pajak (tax savings) dan disajikan dalam laporan keuangan setelah disesuaikan dengan perubahan daya beli sebesar nilai yang akan dibayar, sehingga Pajak yang Ditangguhkan tidak perlu lagi disesuaikan dengan perubahan daya beli.
Pendapatan dan biaya dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu elemen moneter dan elemen non moneter. Sifat dari rekening-rekening tersebut menjadi dasar dalam pengklasifikasiannya. Laporan keuangan yang telah disusun dengan metode General Price Level Accounting dibandingkan dengan laporan keuangan yang disusun dengan Historical Cost Accounting. Kedua laporan keuangan dianalisis dengan menggunakan NOD (Number of Dollar) attribute untuk mengetahui bahwa laporan keuangan tersebut interpretative dan dianalisis dengan COG (Command Over Good) attribute untuk mengetahui bahwa laporan keuangan tersebut relevan. Dari hasil analisis tersebut selanjutnya dilakukan analisa. Elemen laporan keuangan dikatakan relevan > 16 unit dan interpretatif bila selisih elemen yang telah disusun berdasarkan dollar konstan dibagi dengan selisih unit sama dengan indeks harga konsumen. Apabila prosentase elemen-elemen dalam laporan keuangan yang sesuai dengan NOD attribute dan COG attribute > 50%, maka laporan keuangan tersebut dapat dikatakan interpretatif dan relev

Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa pada masa inflasi, laporan keuangan GPLA lebih informatif dibanding historical cost, namun material atau tidaknya perbedaan yang ditimbulkan GPLA tergantung pengaruhnya terhadap perusahaan tersebut, sehingga GPLA bukan dimaksudkan untuk mengganti laporan keuangan historical cost, tetapi hanya sebagai supplement report untuk digunakan sebagai informasi tambahan dalam pengambilan keputusan bagi pihak-pihak yang membutuhkan informasi laporan keuangan sehingga tujuan dari pelaporan akuntansi terpenuhi. Hal ini didasari oleh pernyataan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia bahwa informasi tambahan antara lain mengenai pengungkapan pengaruh perubahan harga bersifat tidak mengikat.
 Sumber :
Dian Inda Sari. Universitas Sumatera Utara. AKUNTANSI INFLASI DALAM MENILAI RELEVANSI
LAPORAN KEUANGAN SUATU PERUSAHAAN

Cash Value Added

ROA dan Economic Value Added

Sejak terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada periode 1997, membuat hampir seluruh sector perokonomian Indonesia mengalami kemerosotan tajam. Salah satunya yang terkena dampak langsung yang paling parah adalah sektor perbankan. Dimana hampir semua Bank-Bank besar yang ada di Indonesia mengalami kemunduran kinerja. Salah satu penyebabnya adalah karena Perbankan tidak dapat lagi mengatasi kepanikan yang terjadi kepada para nasabahnya sehingga para nasabah tersebut melakukan penarikan dananya secara besar-besaran ( Bank Runs ) yang kemudian mengakibatkan bank-bank tersebut kemudian dinyatakan pailit. Salah satu pilar agar industri perbankan mampu bertahan dalam tatanan ekonomi global di mana intensitas persaingan antarbank semakin tinggi adalah perbankan mempunyai kinerja yang baik. Kinerja keuangan merupakan hal penting yang harus dicapai oleh setiap perusahaan termasuk perbankan di manapun, karena kinerja keuangan tersebut merupakan cerminan dari kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengalokasikan sumber dayanya. Penilaian kinerja sangatlah penting bagi semua perusahaan, termasuk perusahaan perbankan. Melalui penilaian kinerja, perusahaan dapat mengetahui apakah kinerja dan operasional perusahaan tersebut buruk atau tidak. Jika dinilai buruk maka diharapkan perusahaan dapat memperbaikinya.
 Jika kinerjanya sudah baik, diharapkan perusahaan dapat mempertahankan atau meningkatkan kinerja dan operasionalnya agar lebih baik. Adapun dimensi pokok dalam menilai baik atau buruknya kinerja perbankan adalah dengan melihat Laporan Keuangan Perbankan. Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari proses akuntansi pada suatu periode waktu tertentu yang merupakan hasil pengumpulan dan pengolahan data keuangan yang disajikan dalam bentuk laporan keuangan atau ikhtisar lainnya yang dapat digunakan untuk membantu para pemakainya dalam mengambil keputusan.Untuk memaksimalkan apa yang bisa didapat dan informasi yang disajikan dalam laporan keuangan maka dibutuhkan adanya suatu penilaian atau pengukuran terhadap kinerja suatu perusahaan. Fungsi dari suatu penilaian atau pengukuran kinerja adalah sebagai alat bantu bagi manajemen perusahaan dalam proses pengambilan keputusan juga memperlihatkan kepada investor maupun pelanggan atau masyarakat secara umum bahwa perusahaan mempunyai kredibilitas yang baik. Apabila perusahaan mempunyai kredibilitas yang baik itu akan mendorong investor untuk menanamkan modalnya, selain itu juga dapat memberikan kepuasan kepada para pelanggan. Namun untuk permasalahan yang bersifat non teknis mungkin akan sulit dipecahkan karena menyangkut masalah-masalah yang berkaitan dengan sikap mental, emosi, faktor psikologi, moral, karakter, dan hal-hal lain yang satu dengan yang lainnya akan mengalami perubahan pada setiap situasi dan kondisi yang berbeda.
 Return On Asset (ROA) adalah bentuk yang paling mudah dari analisis profitabilitas dalam menghubungkan laba bersih (EBIT) yang dilaporkan terhadap total aktiva. Return On Asset (ROA) merupakan bagian dari rasio profitabilitas dalam analisis laporan keuangan atau pengukuran kinerja keuangan perusahaan. Adapun kelemahan yang dirasakan dari pengguna rasio-rasio dalam pengukuran kinerja keuangan yaitu angka-angka yang diperoleh dari perhitungan tidak bisa berdiri sendiri. Rasio-rasio tersebut akan berarti jika ada perbandingan dengan perusahaan sejenis yang mempunyai tingkat resiko yang hampir sama atau dibandingkan dengan rasio industri, disamping itu juga diperlukan analisa kecenderungan dari tiap-tiap rasio dengan tahun sebelumnya (time series)
Untuk melengkapi cara pengukuran kinerja perusahaan yang telah ada, selama beberapa tahun terakhir telah berkembang suatu pendekatan baru dalam mengukur kinerja perusahaan yang dikenal dengan pendekatan nilai tambah ekonomis (Economic Value Added) atau lebih dikenal dengan sebutan EVA. EVA adalah pengukuran kinerja keuangan perusahaan yang dihitung dengan cara mengurangkan net operating profit after tax dan cost of capital. EVA merupakan indikator tentang adanya penciptaan nilai dari suatu investasi, EVA yang positif menandakan perusahaan berhasil menciptakan nilai (Value Creating) bagi pemilik perusahaan tersebut sejalan dengan tujuan memaksimalkan nilai perusahaan. Return On Asset (ROA) dan Economic Value Added (EVA) merupakan cara yang digunakan untuk mengukur kinerja keuangan perbankan. Oleh sebab itu penulis membandingkan kedua cara tersebut untuk dapat mengetahui mana yang lebih memberikan nilai bagi perbankan.
Menurut Robert Ang kinerja keuangan dapat ditinjau melalui 5 pendekatan yaitu kinerja Likuiditas, kinerja aktivitas, kinerja solvabilitas, kinerja profitabilitas, dan kinerja pasar. Penjelasan dari masing-masing kinerja tersebut adalah sebagai berikut: a. Kinerja Likuiditas Kinerja Likuiditas adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. Baik buruknya kinerja likuiditas suatu perusahaan dapat dilihat dari rasio likuiditasnya (liquidity ratios). Rasio ini membandingkan kewajiban jangka pendek dengan sumber jangka pendek untuk memenuhi kewajiban hutang tepat pada waktu jatuh tempo, maka perusahaan tersebut berada dalam keadan likuid. Hal ini dapat tercapai apabila perusahaan tersebut memiliki aktiva lancar yang lebih besar daripada utang lancar atau utang jangka pendeknya. Rasio likuiditas memiliki keterkaitan dengan rasio solvabilitas. Perusahaan yang terus menerus dalam keadaan tidak likuid, kewajiban jangka pendeknya akan menumpuk. Tumpukan utang jangka pendek ini kemudian akan berpengaruh terhadap kemampuan perusahaan dalam mempengaruhi kewajiban jangka panjang (solvable)
Kinerja Aktivitas Kinerja aktivitas merupakan kemampuan serta efisiensi perusahaan dalam memanfaatkan aktiva yang dimilikinya serta atau perputaran (turnover) dari aktiva-aktiva tersebut. Kinerja aktivitas dapat diketahui dengan melihat rasio aktivitas (activity ratios) perusahaan. Oleh karena itu, rasio aktiva ini disebut juga assets activity ratios atau turnover ratios. Menurut Robert  Ang “Rasio aktivitas dapat diukur menggunakan enam pendekatan, yakni Total Assets Turnover, Total Fix Assets Turnover, Account Period, Account Receivable Turnover, Inventory Turnover, Average Collection Period, dan Day’s Sales In Inventory”. c. Kinerja Profitabilitas Kinerja profitabilitas adalah kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan. Para investor dan analisis sangat memperhatikan kinerja profitabilitas karena profitabilitas berkaitan dengan harga saham dan dividen perusahaan, sehingga dapat diperoleh informasi tentang jumlah profit yang diperoleh dari investasi yang telah ditanam. Kinerja profitabilitas (profitability ratios) yang merupakan hasil akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan yang dilakukan oleh perusahaan. Rasio ini akan menunjukan kombinasi dari efek rasio likuiditas, manajemen aktiva, dan utang pada hasil-hasil operasi. Dengan demikian profitabilitas suatu perusahaan dapat diketahui dengan membandingan antara laba yang diperoleh dalam suatu periode dengan jumlah aktiva atau jumlah modal perusahaan tersebut.
d. Kinerja Solvabilitas Kinerja solvabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka panjangnya. Untuk melihat baik buruknya kinerja solvabilitas suatu perusahaan, kita dapat memperhatikan rasio solvabilitasnya (solvency ratios). Rasio Solvabilitas disebut juga leverage ratios, karena merupakan rasio pengungkit yaitu menggunakan pinjaman untuk memperoleh keuntungan. Dengan rasio solvabilitas, dapat diketahui perbandingan penggunaan dana perusahaan yang berasal dari pihak luar atau pinjaman.
Kinerja Pasar Kinerja Pasar merupakan kemampuan perusahaan dalam mengembangkan nilai pasar sahamnya jika dibandingkan dengan nilai rata-rata pasar pada industri yang sama. Kinerja pasar ini dapat dilihat dari Rasio Pasar (Market Ratios) suatu perusahaan. Pendekatan nilai pasar didasarkan kepada perkiraan laba persaham di masa yang akan datang, sehingga dapat diketahui berapa lama investasi suatu saham akan kembali.
Return On Asset merupakan rasio antar laba bersih yang berbanding terbalik dengan keseluruhan aktiva untuk menghasilkan laba. Rasio ini menunjukan berapa besar laba bersih yang diperoleh perusahaan diukur dari nilai aktivanya. Analisis Return On Assets atau sering diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai rentabilitas ekonomi mengukur perkembangan perusahaan menghasilkan laba pada masa lalu. Analisis ini kemudian diproyeksikan ke masa mendatang untuk melihat kemampuan perusahaan menghasilkan laba pada masa-masa mendatang
Economic Value Added merupakan indicator mengenai penciptaan nilai atas suatu investasi. Belakangan ini, EVA telah mendapatkan perhatian baik di kalangan manajemen perusahaan, analisis keuangan dan juga praktisi di pasar modal. EVA belakangan ini mendapatkan perhatian karena EVA yang positif merupakan indicator penciptaan nilai yang dilakukan perusahaan, yang mana sejalan dengan tujuan perusahan Economic Value Added merupakan suatu pendekatan baru dalam pengukuran kinerja keuangan perusahaan yang berbasis nilai (value based). Menurut Young dan Stephen (2001: 17) EVA merupakan pengukuran kinerja yang didasarkan pada keuntungan ekonomis juga dikenal sebagai penghasilan sisa (residual income) yang menyatakan bahwa kekayaan hanya diciptakan ketika sebuah perusahaan mampu memenuhi semua biaya operasi dan biaya modal.
Penilaian Kinerja perusahaan melalui ROA (Return On Assets) mengacu pada tingkat effisiensi suatu perusahaan dalam menghasilkan laba dan aktivanya, sebelum memperhitungkan dampak bagi segi pembiayaannya. Kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba dari setiap penjualannya dapat di ukur dengan menggunakan Net Income Margin, sendangkan Turnover Ratio menunjukkan seberapa jauh perusahaan mampu menciptakan penjualan dari aktiva yang dimilikinya. Semakin tinggi ROA suatu perusahaan, semakin effisiensi operasi perusahaan, dan untuk itu manajemen dapat meningkatkan ROA dengan cara meningkatkan operating margin dan meningkatkan turnover ratio, atau meningkatkan keduanya
Hasil penelitian dari analisis Ridwan Zulkarnain (2013) dan pembahasan dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengukuran Kinerja Keuangan dengan metode Return On Assets (ROA) menunjukkan perubahan yang fluktuatif. Peningkatan dan penurunan laba operasi perusahaan lebih karena peningkatan aktivitas operasi perusahaan yang lebih besar daripada peningkatan pendapatan yang dihasilkan. Besarnya aktivitas operasi yang didanai dari hutang jangka pendek berakibat laba bersih yang harus diterima perusahaan tidak maksimal. 2. Pengukuran Kinerja keuangan dengan menggunakan metode Economic Value Added (EVA) menunjukkan peningkatan nilai EVA yang stabil. Ini berarti manajemen perbankan secara umum telah mampu menciptakan nilai tambah bagi perusahaan serta mampu menciptakan nilai bagi pemegang sahamnya. Adapun penurunan nilai EVA lebih disebabkan karena nilai NOPAT yang dihasilkan tidak sebesar peningkatan nilai biaya Investasi yang harus ditanggung oleh pihak Perusahaan. 3. Berdasarkan pengujian hipotesis, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara metode pengukuran Return On Assets (ROA) dengan Economic Value Added (ROA) dalam menilai kinerja keuangan perbankan. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji t, diperoleh bahwa nilai 78 thitung sebesar -0,461 dengan derajat signifikansi sebesar 0,648. Dengan signifikansi lebih besar dari syarat signifikansi 0,05 maka Hipotesis Nol (Ho) diterima. Jadi, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara penilaian kinerja perusahaan dengan menggunakan metode Economic Value Aded (EVA) dan Return On Assets (ROA).

 Sumber :
RIDWAN ZULKARNAIN. 2013. ANALISIS KOMPARATIF RETURN ON ASSETS (ROA) DENGAN ECONOMIC VALUE ADDED (EVA) DALAM MENILAI KINERJA KEUANGAN PERBANKAN

Translasi Mata Uang

Translasi Mata Uang : Hedging dalam Pandangan Syariah
Sebelum terjadinya krisis mata uang di Asia khususnya Asia Tenggara, kawasan ini masih dinilai sebagai kawasan yang mempunyai iaju pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan oleh sebagian besar pakar dan lembaga keuangan internasional namun sebenarnya telah ada pula yang mengingatkan bahwa pertumbuhan tersebut lebih bersifat semu seperti gelembung sabun atau balon karena tidak mencerminkan fundamental ekonomi yang kuat, yang tidak lain adalah kekuatan riil ekonomi dengan tingkat produktifitas yang tinggi dan efisiensi ekonomi yang optimal. Meskipun tidak semua mengakui secara terus terang tetapi disadari sepenuhnya bahwa sistem ekonomi yang berbasis kapitalis dan interest base serta menempatkan uang sebagai komoditi yang diperdagangkan bahkan secara besar-besaran ternyata memberikan implikasi yang serius terhadap kerusakan hubungan ekonomi yang adil dan produktif. Kejadian fenomenal dan menggugah kesadaran berbagai pihak untuk setidak-tidaknya tergerak mempelajari lebih jauh kebenaran argumentasi yang muncul tentang kerusakan sistem keuangan dunia, bahkan belakangan Soros pun sudah mulai mengkritik sistem kapitalis yang kelewat bebas dalam pengaturan arus keuangan dunia. Secara politis dan praktis upaya memperkenalkan sistem keuangan berdasarkan pandangan Islam tersebut masih harus melewati jalan panjang tidak saja dari segi pemantapan fondasi teoritis dan praktis tetapi iebih dari itu diperlukan kekuatan untuk meyakinkan kelompok pelaku utama keuangan internasional dan negara maju bahwa sistem keuangan yang berbasis pada prinsip ekonomi Islam dapat menjamin terselenggaranya perekonomian dunia yang lebih adil dan membawa kesejahteraan umat manusia sesuai dengan konsep Islam "rahmatan lil alamin"

Sejalan dengan upaya untuk memposisikan industri perbankan syariah sebagai fasilitator kegiatan transaksi keuangan yang komprehensif, termasuk fasilitator kegiatan perdagangan internasional (trade finance), instrumen lindung nilai ataupun skema dan mekanisme yang dapat meminimalkan pengaruh negatif dari fluktuasi indikator keuangan menjadi sangat penting. Dibandingkan dengan industri perbankan konvensional, perbankan syariah masih belum dapat menggunakan instrumen lindung nilai yang ada seperti forward, future, options dan swap. Posisi perbankan syariah tersebut tidak dapat dilepaskan dari kerangka pemikiran syariah, instrumen-instrumen tersebut diindikasikan mengandung unsur gharar (ketidaksempurnaan informasi dalam kontrak), riba (transaksi berbasis bunga) dan maysir (transaksi spekulatif) yang tidak diperkenankan dalam prinsip syariah. Oleh karena itu secara praktis, perbankan syariah belum dapat mengimplementasikan manajemen risiko yang efisien khususnya yang terkait dengan fluktuasi nilai tukar. Hal ini mendorong upaya untuk mencari solusi yang dapat digunakan untuk mengisi kekosongan di dalam pengelolaan risiko nilai tukar bagi bank syariah. Adapun yang menjadi permasalahan utama dalam instrumen hedge yang ada adalah tidak diperkenankannya: 1). penetapan harga premium dengan basis bunga, 2). penetapan nilai jual valuta saat ini untuk penyerahan dimasa yang akan datang,  dan 3). jual beli instrumen berbasis hutang.

Pada mekanisme hedge, risiko nilai tukar yang dihadapi oleh perbankan syariah berasal dari mismatch nilai tukar antara domestic currency sebagai modal kerja bank (working capital) dan volatilitas harga foreign currency dalam pembiayaan yang dilakukan sebagai akibat adanya perbedaan waktu eksekusi dana dan pengembalian dana oleh debitur kepada bank syariah. Adapun pembiayaan bank syariah yang memiliki eksposur nilai tukar antara lain credit line, L/C, dan guarantee. Selanjutnya beberapa area produk yang dibahas dalam paper meliputi forward, future, options, dan swap sebagai instrumen hedge yang akan dilakukan filterisasi terhadap prinsip syariah (riba, gharar, dan maysir) sehingga didapatkan kelemahan dari aspek syariah untuk instrumen yang ada. Kelemahan tersebut di-eliminir sehingga dapat dikembangkan menjadi produk ataupun mekanisme hedge yang memenuhi kelayakan (feasibility) dari sisi syariah. Sementara itu, selain dari sisi feasibility juga perlu ditinjau dari sisi keterpakaian (viability) terhadap produk (forward, future, options, dan swap) dan mekanisme pricing yang ada terhadap produk ataupun mekanisme hedge yang feasible. Hasil akhir dari kajian ini adalah rekomendasi produk ataupun mekanisme hedge bagi perbankan syariah.

Instrument Hedge
Pembahasan instrumen hedge yang akan dibahas pada paper ini meliputi empat bentuk produk plain-vanilla yang meliputi: forward, futures, options, dan swaps. Instrumen-instrumen tersebut telah secara luas digunakan dalam transaksi keuangan konvensional dan menjadi dasar transaksi instrumen derivatif yang lebih kompleks.

 1. Forward, Kontrak forward secara umum digunakan dalam melakukan mitigasi atau pengelolaan  terhadap risiko  kedepan yang melekat pada underlying assets-nya seperti halnya fluktuasi nilai dari sebuah mata uang tertentu . Jadi pengertian umum kontrak forward adalah kontrak tunai dimana dua pihak setuju untuk melakukan pertukaran aset (contohnya, nilai tukar atau valas) untuk dilakukan penyerahan oleh penjual kepada pembeli pada sejumlah waktu tertentu di masa yang akan datang. Pada kontrak forward  terdapat dua pihak yang terlibat yaitu pihak yang bersedia mengirimkan underlying asset yang ditentukan sebagai pihak berada dalam posisi short (pihak penjual) dan pihak yang bersedia menerima underlying asset dimaksud sebagai pihak yang berada dalam posisi long (pihak pembeli).
2. Future, Kontrak future konvensional memiliki kesamaan dengan kontrak forward kecuali dalam penentuan harga yang bersifat marked to market yang diikuti oleh pertukaran cash secara harian antara dua pihak (pihak yang untung dan pihak yang mengalami kerugian) sebagai proses penyelesaian transaksi harian. Sementara itu, menurut Torben Juul Andersen pengertian dari kontrak future adalah komitmen legal bagi penjual untuk melakukan pengiriman atas underlying assets dan bagi pembeli untuk menerima underlying assets tersebut dalam kualitas dan kuantitas yang terstandarisasi pada satu waktu tertentu. Kontrak future sendiri diperjualbelikan dalam pasar future. Komoditas dalam kontrak tersebut diawali oleh pasar bahan dasar seperti hasil pertanian dan hasil tambang. Perkembangan pasar tersebut didorong oleh standarisasi terhadap kontrak futures sehingga memudahkan proses pertukaran antar kontrak dalam bursa perdagangan di pasar futures.

Hakikat terbentuknya pasar future merupakan sebuah bentuk fasilitas kerjasama dalam berbagi risiko antara pihak yang pemilik risiko dengan pihak lain yang mau menanggung risiko dari pihak pemilik risiko. Future trading oleh para produsen dijadikan sarana untuk melakukan lindung nilai, yaitu startegi untuk mengurangi risiko yang diakibatkan oleh fluktuasi harga. Sedangkan dalam perkembangan selanjutnya, para spekulator atau spekulan dari pemilik modal mulai melihat bahwa kontrak ini sangat menarik untuk dikembangkan menjadi instrumen untuk spekulasi. Seorang spekulator dapat saja membeli kontrak future untuk penyerahan di masa datang, dan mulai spekulasi dengan perkiraan harga komoditas pada saat penyerahan. Sehingga dalam hal ini para spekulator mengambil alih risiko dari para petani. Sejak saat itulah terjadinya futures market sebagai pasar untuk spekulasi para spekulan.

3. Option, Opsi adalah kontrak dimana salah satu pihak menyetujui untuk membayar sejumlah imbalan kepada pihak yang lainnya untuk suatu "hak" (tetapi bukan kewajiban) untuk membeli sesuatu atau menjual sesuatu kepada pihak yang lainnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau disepakati (Suwarno (2003)); misalnya saja ada seseorang yang khawatir bahwa harga dari stok XXX akan turun sebelum ia sempat menjualnya, maka ia membayar imbalan kepada seseorang lainnya (ini disebut "penjual" opsi jual /put option) yang menyetujui untuk membeli stok daripadanya dengan harga yang ditentukan didepan (strike price). Pembeli menggunakan opsi ini untuk mengelola resiko turunnya nilai jual dari stok XXX yang dimilikinya, dilain sisi si pembeli opsi mungkin saja menggunakan transaksi opsi tersebut untuk memperoleh imbalan jasa dan mungkin telah memiliki suatu gambaran bahwa nilai jual XXX tersebut tidak akan turun. Sebagai lawan dari opsi jual adalah opsi beli atau biasa disebut call option dimana pada opsi beli ini memberikan opsi kepada pembeli opsi hak untuk membeli aset acuan (underlying asset) pada suatu tanggal yang disepakati dengan harga yang telah ditetapkan atau yang dikenal dengan istilah option strike.

4. Swap, Secara umum penggunaan transaksi swap dalam industri perbankan konvensional dilakukan atas dua jenis underlying asset yaitu nilai tukar dan suku bunga. Oleh sebab itu pengertian dari swap itu sendiri merujuk kepada underlying assets yang digunakan, dimana swap dalam konteks nilai tukar mengandung pengertian sebagai aktivitas pembelian dan penjualan mata uang secara simultan dalam nilai yang sama untuk waktu jatuh tempo yang berbeda dengan harga kontrak swap dihitung berdasarkan selisih harga mata uang atas dua periode jatuh tempo. Sementara itu, pengertian swap dalam suku bunga adalah perjanjian untuk melakukan penukaran pembayaran jenis suku bunga dalam kewajiban yang dimiliki yaitu suku bunga tetap menjadi suku bunga mengambang ataupun sebaliknya. Adapun mekanisme pricing swap untuk suku bunga adalah selisih hasil deposit dana atas suku bunga yang di-swap dalam jangka waktu yang disepakati (nilai deposit atas suku bunga tetap dan nilai deposit atas suku bunga mengambang dalam periode yang sama sesuai kesepakatan)(Fitch(1990)). Perjanjian swap adalah transaksi pertukaran dua valuta melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan/pembelian kembali secara berjangka yang dilakukan secara simultan dengan bank yang sama dan pada tingkat premi atau diskon dan kurs yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.

Prinsip Dasar Pengelolaan Risiko dalam Syariah

Risiko merupakan salah satu bentuk dari kesulitan atau hal yang tidak diharapkan meskipun hal tersebut timbul sebagai konsekuensi dari aktivitas ekonomi. Akan tetapi sebuah nilai dalam membuat sebuah keputusan ekonomi bukan hanya ditentukan oleh risikonya tetapi lebih kepada terciptanya kesejahteraan dan nilai yang bisa diperoleh. Risiko dapat menggambarkan nilai, tetapi bukan risiko itu sendiri yang menentukan sebuah nilai. Hal ini merepresentasikan perbedaan penting antara risiko terkalkulasi dan risiko yang merugikan. Risiko terkalkulasi diperlukan dalam terwujudnya sebuah nilai. Namun demikian, penciptaan nilai tambah dalam perhitungan risiko dapat digolongkan sebagai bagian dari maysir. Pemikiran tersebut diturunkan dari tulian Ibnu Taymiah sekitar 670 tahun yang lalu sebagai berikut:

Risiko itu terbagi dua: risiko komersial (commercial risk), dimana seseorang akan membeli suatu barang dengan tujuan untuk menjual barang tersebut dan berserah diri kepada Allah atas hal tersebut. Risiko ini berlaku untuk para pedagang, sekalipun seseorang mungkin menderita kerugian, namun hal ini natural terjadi dalam perdagangan. Jenis risiko lainnya adalah gambling, yang dilarang oleh Allah dan RasulNya.

Para ahli keuangan syariah menggolongkan risiko ke dalam 2 jenis yaitu: yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima. Agar suatu risiko dapat diterima, terdapat tiga komponen yang mencirikannya yaitu: inevitability (tidak dapat dihindarkan); insignificance dan unintentional (lihat al-Dharir [12], hal.587-612, Hasan [7], hal. 464-469)).

Instrumen Hedge Konvensional dalam Pandangan Syariah

Lindung nilai pada dasarnya belum diterima sepenuhnya oleh para ahli fiqih terutama praktek lindung nilai yang pada umumnya menitikberatkan pada resiko yang berkaitan dengan fluktuasi nilai tukar. Masalah ini timbul khususnya pada timbulnya riba, gharar dan maysir dalam transaksi tersebut.

1. Kontrak Forward, Dalam kontrak forward, potensi riba terjadi pada saat jual beli instrumen forward dimana harga instrumen forward didasarkan atas nominal uang dalam kontrak jual beli yang akan dilindung nilai berupa persentase (interest). Sementara itu, kondisi gharar dalam instrumen lindung nilai berupa forward adalah penentuan harga mata uang saat ini untuk pembelian mata uang bersangkutan di masa yang akan datang. Akhirnya, prinsip terakhir yaitu kondisi maysir juga terjadi dalam instrumen forward pada saat instrumen tersebut diperjualbelikan dalam pasar derivatif sebagai bentuk tindakan spekulatif yang hanya mengejar keuntungan tanpa adanya barang dan jasa yang dihasilkan

2. Kontrak Future, Kontrak future secara nyata melanggar prinsip syariah berupa larangan menjual sesuatu yang tidak ada atau sesuatu yang tidak dimiliki sebagai bentuk gharar (Obaidullah). Larangan tersebut dalam mahzab Syafi’i bersifat umum dan berlaku bagi semua komoditas. Sedangkan dari sudut pandang mahzab Hanafi menyatakan larangan terhadap penjualan kembali sesuatu yang belum diterima atau belum dimiliki sepenuhnya kecuali sesuatu tersebut merupakan properti riil.  Mahzab Hanafi tersebut didasarkan bahwa larangan penjualan kembali tersebut didasarkan pada pelanggaran prinsip syariah berupa bebas gharar. Sementara itu, hakikat transaksi kontrak future merupakan jual beli kontrak yang belum jatuh tempo yang tergolong dalam jual beli hutang atau bai-al-dayn-bi-al-dayn yang termasuk golongan riba dan merupakan bentuk maysir

3.Kontrak Option. Secara umum, menurut the Islamic Fiqh Academy, Jeddah bahwa kontrak option yang saat ini digunakan dalam pasar keuangan dunia merupakan sebuah tipe kontrak baru yang tidak memiliki padanan pada akad-akad dalam syariah. Hal ini didasarkan pada subyek kontrak yang merupakan sejumlah uang ataupun kemanfaatan (hak khusus) dalam keuangan yang dapat dihapuskan sehingga kontrak dimaksud dilarang dalam syariah (Obaidullah (2005)). Penjelasan yang lebih khusus sebagaimana yang dikatakan oleh Mufty Taqi Usmani bahwa perjanjian dalam kontrak option dapat diterima secara syariah, tetapi perdagangan dan pengenaan harga premium dalam kontrak tersebut itulah yang tidak dapat diterima dalam syariah (Rohmah et.al. (2005)). Kedua pendapat diatas menegaskan bahwa isu utama dalam kontrak option adalah masalah riba. Permasalahan lainnya yang menjadi isu utama dalam transaksi option adalah gharar dan maysir sebagai akibat adanya jual beli kontak option itu sendiri dalam pasar sekunder

4. Kontrak SWAP, Sebagaimana dijelaskan di atas, metode penetapan harga dalam kontrak (instrumen) swap dengan menggunakan rate atau bunga atas transaksi jual beli valuta yang bersangkutan dalam pasar keuangan sehingga dalam syairha kondisi ini termasuk dalam riba. Sementara itu, penetapan harga diawal untuk pembelian valuta menimbulkan permasalahan dalam prinsip syariah berupa gharar. Lebih lanjut, pelanggaran prinsip syariah berupa maysir dapat terjadi bila kontrak swap tersebut diperjualbelikan dalam pasar keuangan. Selain ketiga prinsip syariah yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat pelanggaran prinsip syariah lainnya yaitu kontrak yang disertai persyaratan atas kontrak ataupun transaksi lainnya (dua perjanjian yang saling terkait) dimana kondisi tersebut termasuk dalam ta’aluq

Kesimpulan dari analisis kesesuaian terhadap prinsip syariah diatas menunjukkan bahwa permasalahan utama dalam instrumen lindung nilai yang ada saat ini (forward, future, options, dan swap) terhadap kepatuhan merupakan penetapan harga premium berbasis rate atau bunga, penetapan harga jual valuta saat ini untuk penyerahan di masa yang akan datang dan jual beli kontrak tersebut di pasar keuangan. Lebih jauh lagi, fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) dalam jual beli valuta adalah dilakukan secara spot dan indeks jualbeli valuta untuk masa yang akan datang berdasarkan prinsip syariah juga belum tersedia sehingga penerapan maupun modifikasi instrumen konvensional menjadi instrumen derivatif yang memenuhi prinsip syariah adalah tidak dapat dilakukan.
pengembangan lindung nilai dalam perbankan syariah harus diarahkan dari pendekatan komersial (tijari) yang berorientasi terhadap jual beli instrumen hedge menjadi pendekatan investasi dan tolong menolong atau berbagi risiko (ta’awun). Hal ini didasarkan pada konsep pengelolaan risiko dalam syariah menekankan pada risk sharing dan menghindari adanya risk transfer. Perbedaan antara risk sharing dan risk transfer terletak pada usaha untuk mengindari risiko dimana transfer risk ditempuh melalui pembelian sebuah instrumen yang dapat meng-cover risiko yang dihadapi, sedangkan risk sharing merupakan usaha bersama baik berupa aktivitas finansial maupun aktivitas bisnis untuk meng-cover risiko yang akan dihadapi dikemudian hari. Lebih lanjut dalam kerangka hedge, bank syariah menghadapi risiko nilai tukar atas transaksi dalam perdagangan luar negeri sehingga membutuhkan dana talangan yang dapat digunakan untuk meng-cover kemungkinan kerugian atas volatilitas nilai tukar pada saat kewajiban bank syariah tersebut jatuh tempo di masa yang akan datang. Dengan menggunakan konsep tolong -menolong (ta’awun) maka penghimpunan dana talangan tersebut dilakukan secara bersama-sama oleh perbankan syariah dan lembaga lain atas dasar sukarela (Islamic hedge fund). Namun demikian, kondisi volatilitas nilai tukar tidak selamanya mengakibatkan kerugian atau dengan kata lain mendatangkan keuntungan dimana setiap peserta dalam dana talangan tersebut memiliki porsi atas keuntungan tersebut sesuai kontribusinya. Untuk itulah skema dalam hedge dengan menggunakan Islamic hadge fund menggunakan akad kafalah terutama untuk skema penjaminan nilai tukar dan menggunakan prinsip kemitraan berdasarkan akad mudharabah dan musyarakah untuk skema investasi (berkaitan dengan keuntungan atas volatilitas nilai tukar).


 Sumber :
Achmad Baraba. PRINSIP DASAR OPERASIONAL PERBANKAN SYARIAH

Pealporan dan Pengungkapan

Perkembangan Standar Pencatatan di Indonesia

Indonesia perlu mengadopsi standar akuntansi internasional untuk memudahkan perusahaan asing yang akan menjual saham di negara ini atau sebaliknya. Namun demikian, untuk mengadopsi standar internasional itu bukan perkara mudah karena memerlukan pemahaman dan biaya sosialisasi yang mahal. Indonesia sudah melakukannya namun sifatnya baru harmonisasi, dan selanjutnya akan dilakukan full adoption atas standar internasional tersebut. Adopsi standar akuntansi internasional tersebut terutama untuk perusahaan publik. Hal ini dikarenakan perusahaan publik merupakan perusahaan yang melakukan transaksi bukan hanya nasional tetapi juga secara internasional. Jika ada perusahaan dari luar negeri ingin menjual saham di Indonesia atau sebaliknya, tidak akan lagi dipersoalkan perbedaan standar akuntansi yang dipergunakan dalam menyusun laporan. Perkembangan, dan pengadopsian Standar Akuntansi Internasional di Indonesia Sejarah dan perkembangan Standar Akuntansi di Indonesia Berikut adalah perkembangan standar akuntansi Indonesia mulai dari awal sampai dengan saat ini yang menuju konvergensi dengan IFRS (Sumber: Ikatan Akuntan Indonesia, 2008). Tahun. 1974 : Indonesia mengikuti standar Akuntansi Amerika yang dibuat oleh IAI yang disebut dengan prinsip Akuntansi. Tahun. 1984 : Prinsip Akuntansi di Indonesia ditetapkan menjadi standar Akuntansi. Akhir Tahun 1984 : Standar Akuntansi di Indonesia mengikuti standar yang bersumber dari IASC (International Accounting Standart Committee). Sejak Tahun. 1994 : IAI sudah committed mengikuti IASC / IFRS. Tahun 2008 : diharapkan perbedaan PSAK dengan IFRS akan dapat diselesaikan.

International Financial Reporting Standards (IFRS), merupakan standar tunggal pelaporan akuntansi yang memberikan penekanan pada penilaian (revaluation) profesional dengan disclosures yang jelas dan transparan mengenai substansi ekonomis transaksi, penjelasan hingga mencapai kesimpulan tertentu. Standar ini muncul akibat tuntutan globalisasi yang mengharuskan para pelaku bisnis di suatu negara ikut serta dalam bisnis lintas negara. Untuk itu diperlukan suatu standar internasional yang berlaku sama di semua negara untuk memudahkan proses rekonsiliasi bisnis. Perbedaan utama standar internasional ini dengan standar yang berlaku di Indonesia terletak pada penerapan revaluation model, yaitu kemungkinkan penilaian aktiva menggunakan nilai wajar, sehingga laporan keuangan disajikan dengan basis ‘true and fair„ (IFRS framework paragraph 46). Mengadopsi IFRS berarti menggunakan bahasa pelaporan keuangan global, yang akan membuat perusahaan bisa dimengerti oleh pasar dunia (global market). Dalam pengapdopsian IFRS
Tahun. 2012 : Mulai mengkonvergensi. Pengadopsian Standar Akuntansi Internasional di Indonesia Saat ini standar akuntansi keuangan nasional sedang dalam proses konvergensi secara penuh dengan International Financial Reporting Standards (IFRS) yang dikeluarkan oleh IASB (International Accounting Standards Board. Oleh karena itu, arah penyusunan dan pengembangan standar akuntansi keuangan ke depan akan selalu mengacu pada standar akuntansi internasional (IFRS) tersebut. Posisi IFRS/IAS yang sudah diadopsi hingga saat ini dan akan diadopsi pada tahun 2009 dan 2010 adalah seperti yang tercantum dalam daftar- daftar berikut ini (sumber: Ikatan Akuntan Indonesia, 2009). Menurut  Dewan  Standar  Akuntansi  Keuangan  (DSAK),  tingkat pengadopsian IFRS dapat dibedakan menjadi 5 tingkat:  (i) Full Adoption; Suatu  negara  mengadopsi  seluruh  standar  IFRS  dan  menerjemahkan  IFRS  sama persis  ke  dalam  bahasa  yang negara tersebut gunakan.

(ii) Adopted; Program konvergensi PSAK ke IFRS telah dicanangkan IAI pada Desember 2008.  Adopted maksudnya adalah mengadopsi   IFRS namun disesuaikan  dengan  kondisi di negara tersebut. (iii)  Piecemeal; Suatu  negara  hanya mengadopsi  sebagian  besar  nomor   IFRS  yaitu  nomor  standar  tertentu  dan  memilih  paragraf  tertentu saja.  (iv) Referenced (konvergence); Sebagai  referensi,  standar  yang  diterapkan  hanya  mengacu pada  IFRS  tertentu  dengan  bahasa  dan  paragraf  yang  disusun sendiri oleh badan pembuat standar.  (v) Not adopted at all; Suatu negara sama sekali tidak mengadopsi IFRS. Indonesia menganut bentuk  yang mengambil IFRS sebagai referensi dalam sistem akuntansinya. Landasan konseptual untuk akuntansi transaksi syariah telah disusun oleh DSAK dalam bentuk Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah. Hal ini diperlukan karena transaksi syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan transaksi usaha umumnya sehingga ada beberapa prinsip akuntansi umum yang tidak dapat diterapkan dan diperlukan suatu penambahan prinsip akuntansi yang dapat dijadikan landasan konseptual.
Revisi terbaru PSAK yang mengacu pada IFRS Sejak Desember 2006 sampai dengan pertengahan tahun 2007 kemarin, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah merevisi dan mengesahkan lima Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Revisi tersebut dilakukan dalam rangka konvergensi dengan International Accounting Standards (IAS) dan International financial reporting standards (IFRS). 5 butir PSAK yang telah direvisi tersebut antara lain: PSAK No. 13, No. 16, No. 30 (ketiganya revisi tahun 2007, yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2008), PSAK No. 50 dan No. 55 (keduanya revisi tahun 2006 yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2009). PSAK No. 13 (revisi 2007) tentang Properti Investasi yang menggantikan PSAK No. 13 tentang Akuntansi untuk Investasi (disahkan 1994), 2. PSAK No. 16 (revisi 2007) tentang Aset Tetap yang menggantikan PSAK 16 (1994) : Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain dan PSAK 17 (1994) Akuntansi Penyusutan, 3. PSAK No. 30 (revisi 2007) tentang Sewa menggantikan PSAK 30 (1994) tentang Sewa Guna Usaha. 4. PSAK No. 50 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Penyajian dan Pengungkapan yang menggantikan Akuntansi Investasi Efek Tertentu 5. PSAK No. 55 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran yang menggantikan Akuntansi Instrumen Derivatif dan Aktivitas Lindung Nilai.

Kelima PSAK tersebut dalam revisi terakhirnya sebagian besar sudah mengacu ke IAS/IFRS, walaupun terdapat sedikit perbedaan terkait dengan belum diadopsinya PSAK lain yang terkait dengan kelima PSAK tersebut. Dengan adanya penyempurnaan dan pengembangan PSAK secara berkelanjutan dari tahun ke tahun, saat ini terdapat tiga PSAK yang pengaturannya sudah disatukan dengan PSAK terkait yang terbaru sehingga nomor PSAK tersebut tidak berlaku lagi, yaitu : 1. PSAK No. 9 (Revisi 1994) tentang Penyajian Aktiva Lancar dan Kewajiban Jangka Pendek pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 1 (Revisi 1998) tentang Penyajian Laporan Keuangan; 2. PSAK No. 17 (Revisi 1994) tentang Akuntansi Penyusutan pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap; 3. PSAK No. 20 tentang Biaya Riset dan Pengembangan (1994) pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 19 (Revisi 2000) tentang Aset Tidak Berwujud.

PSAK yang sedang dalam proses revisi Ikatan Akuntan Indonesia merencanakan untuk konvergensi dengan IFRS mulai tahun 2012, untuk itu Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) sedang dalam proses merevisi 3 PSAK berikut (Sumber: Deloitte News Letter, 2007): • PSAK 22 : Accounting for Business Combination, which is revised by reference to IFRS 3 : Business Combination; • PSAK 58 : Discontinued Operations, which is revised by reference to IFRS 5 : Non-current Assets Held for Sale and Discontinued Operations; • PSAK 48 : Impairment of Assets, which is revised by reference to IAS 36 : Impairment of Assets Berikut adalah program pengembangan standar akuntansi nasional oleh DSAK dalam rangka konvergensi dengan IFRS: • Pada akhir 2010 diharapkan seluruh IFRS sudah diadopsi dalam PSAK; • Tahun 2011 merupakan tahun penyiapan seluruh infrastruktur pendukung untuk implementasi PSAK yang sudah mengadopsi seluruh IFRS; • Tahun 2012 merupakan tahun implementasi dimana PSAK yang berbasis IFRS wajib diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki akuntabilitas publik. Namun IFRS tidak wajib diterapkan oleh perusahaan-perusahaan lokal yang tidak memiliki akuntabilitas publik.

 Pengembangan PSAK untuk UKM dan kebutuhan spesifik nasional didahulukan. Efek penerapan International Accounting Standard (IAS) terhadap Laporan Keuangan Beberapa penelitian di luar negeri telah dilakukan untuk menganalisa dan membuktikan efek penerapan IAS (IFRS) dalam laporan keuangan perusahaan domestik. Penelitian itu antara lain dilakukan oleh Barth, Landsman, Lang (2005), yang melakukan pengujian untuk membuktikan pengaruh Standar Akuntansi Internasional (SAI) terhadap kualitas akuntansi. Penelitian lain dilakukan oleh Marjan Petreski (2005), menguji efek adopsi SAI terhadap manajemen perusahaan dan laporan keuangan. Hung & Subramanyan menguji efek adopsi SAI terhadap laporan keuangan perusahaan di Jerman. Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa total aktiva, total kewajiban dan nilai buku ekuitas, lebih tinggi yang menerapkan IAS dibanding standar akuntansi Jerman, dan tidak ada perbedaan yang signifikan pada pendapatan dan laba bersih yang didasarkan atas Standar Akuntansi Internasional dan Standar Akuntansi Jerman.

Adopsi SAI juga berdampak pada rasio keuangan, antaralain rasio ROE, RAO, ATO, rasio LEV dan PM, rasio nilai buku terhadap nilai pasar ekuitas, rasio Earning to Price. Pricewaterhouse Coopers (2005) menyatakan bahwa perubahan standar akuntansi tersebut akan berdampak pada berbagai area antara lain: Product viability, Capital Instruments, Derivatives dan hedging, Employee benefits, fair valuations, capital allocation, leasing, segment reporting, revenue recognition, impairment reviews, deferred taxation, cash flows, disclosures, borrowing arrangements and banking covenants.

Sumber :
Murni Sulfia. Transisi Menuju IFRS dan Dampaknya Terhadap Laporan Keuangan