Translasi
Mata Uang : Hedging dalam Pandangan Syariah
Sebelum
terjadinya krisis mata uang di Asia khususnya Asia Tenggara, kawasan ini masih
dinilai sebagai kawasan yang mempunyai iaju pertumbuhan ekonomi yang
menakjubkan oleh sebagian besar pakar dan lembaga keuangan internasional namun
sebenarnya telah ada pula yang mengingatkan bahwa pertumbuhan tersebut lebih
bersifat semu seperti gelembung sabun atau balon karena tidak mencerminkan
fundamental ekonomi yang kuat, yang tidak lain adalah kekuatan riil ekonomi
dengan tingkat produktifitas yang tinggi dan efisiensi ekonomi yang optimal.
Meskipun tidak semua mengakui secara terus terang tetapi disadari sepenuhnya
bahwa sistem ekonomi yang berbasis kapitalis dan interest base serta
menempatkan uang sebagai komoditi yang diperdagangkan bahkan secara
besar-besaran ternyata memberikan implikasi yang serius terhadap kerusakan
hubungan ekonomi yang adil dan produktif. Kejadian fenomenal dan menggugah
kesadaran berbagai pihak untuk setidak-tidaknya tergerak mempelajari lebih jauh
kebenaran argumentasi yang muncul tentang kerusakan sistem keuangan dunia,
bahkan belakangan Soros pun sudah mulai mengkritik sistem kapitalis yang
kelewat bebas dalam pengaturan arus keuangan dunia. Secara politis dan praktis
upaya memperkenalkan sistem keuangan berdasarkan pandangan Islam tersebut masih
harus melewati jalan panjang tidak saja dari segi pemantapan fondasi teoritis
dan praktis tetapi iebih dari itu diperlukan kekuatan untuk meyakinkan kelompok
pelaku utama keuangan internasional dan negara maju bahwa sistem keuangan yang
berbasis pada prinsip ekonomi Islam dapat menjamin terselenggaranya
perekonomian dunia yang lebih adil dan membawa kesejahteraan umat manusia
sesuai dengan konsep Islam "rahmatan lil alamin"
Sejalan
dengan upaya untuk memposisikan industri perbankan syariah sebagai fasilitator
kegiatan transaksi keuangan yang komprehensif, termasuk fasilitator kegiatan
perdagangan internasional (trade finance),
instrumen lindung nilai ataupun skema dan mekanisme yang dapat meminimalkan
pengaruh negatif dari fluktuasi indikator keuangan menjadi sangat penting.
Dibandingkan dengan industri perbankan konvensional, perbankan syariah masih
belum dapat menggunakan instrumen lindung nilai yang ada seperti forward, future, options dan swap. Posisi perbankan syariah tersebut tidak dapat dilepaskan
dari kerangka pemikiran syariah,
instrumen-instrumen tersebut diindikasikan mengandung unsur gharar (ketid aksempurnaan
informasi dalam kontrak), riba
(transaksi berbasis bunga) dan maysir (transaksi
spekulatif) yang tid ak diperkenankan
dalam prinsip syariah. Oleh karena itu secara praktis, perbankan syariah belum
dapat mengimplementasikan manajemen risiko yang efisien khususnya yang terkait
dengan fluktuasi nilai tukar. Hal ini mendorong upaya untuk mencari solusi yang
dapat digunakan untuk mengisi kekosongan di dalam pengelolaan risiko nilai
tukar bagi bank syariah. Adapun yang menjadi permasalahan utama dalam instrumen
hedge yang ada
adalah tid ak diperkenankannya: 1).
penetapan harga premium dengan basis bunga, 2). penetapan nilai jual valuta
saat ini untuk penyerahan dimasa yang akan datang, dan 3). jual beli instrumen berbasis hutang.
Pada
mekanisme hedge, risiko nilai tukar
yang dihadapi oleh perbankan syariah berasal dari mismatch nilai tukar antara domestic
currency sebagai modal kerja bank (working
capital) dan volatilitas harga foreign
currency dalam pembiayaan yang dilakukan sebagai akibat adanya perbedaan
waktu eksekusi dana dan pengembalian dana oleh debitur kepada bank syariah. Adapun
pembiayaan bank syariah yang memiliki eksposur nilai tukar antara lain credit line, L/C, dan guarantee. Selanjutnya beberapa area
produk yang dibahas dalam paper meliputi forward,
future, options, dan swap sebagai
instrumen hedge yang akan dilakukan
filterisasi terhadap prinsip syariah (riba,
gharar, dan maysir) sehingga
didapatkan kelemahan dari aspek syariah untuk instrumen yang ada. Kelemahan
tersebut di-eliminir sehingga dapat dikembangkan menjadi produk ataupun
mekanisme hedge yang memenuhi
kelayakan (feasibility) dari sisi
syariah. Sementara itu, selain dari sisi feasibility
juga perlu ditinjau dari sisi keterpakaian (viability)
terhadap produk (forward, future, options,
dan swap) dan mekanisme pricing yang ada terhadap produk ataupun
mekanisme hedge yang feasible. Hasil akhir dari kajian ini
adalah rekomendasi produk ataupun mekanisme hedge
bagi perbankan syariah.
Instrument Hedge
Pembahasan instrumen hedge yang akan dibahas pada paper ini meliputi empat bentuk produk
plain-vanilla yang meliputi: forward,
futures, options, dan swaps.
Instrumen-instrumen tersebut telah secara luas digunakan dalam transaksi
keuangan konvensional dan menjadi dasar transaksi instrumen derivatif yang
lebih kompleks.
1. Forward, Kontrak forward
secara umum digunakan dalam melakukan mitigasi atau pengelolaan terhadap risiko kedepan yang melekat pada underlying assets-nya seperti halnya
fluktuasi nilai dari sebuah mata uang tertentu . Jadi
pengertian umum kontrak forward
adalah kontrak tunai dimana dua pihak setuju untuk melakukan pertukaran aset
(contohnya, nilai tukar atau valas) untuk dilakukan penyerahan oleh penjual
kepada pembeli pada sejumlah waktu tertentu di masa yang akan datang. Pada
kontrak forward terdapat dua pihak yang terlibat yaitu pihak
yang bersedia mengirimkan underlying
asset yang ditentukan sebagai pihak berada dalam posisi short (pihak penjual) dan pihak yang
bersedia menerima underlying asset
dimaksud sebagai pihak yang berada dalam posisi long (pihak pembeli).
2. Future, Kontrak future
konvensional memiliki kesamaan dengan kontrak forward kecuali dalam
penentuan harga yang bersifat marked
to market yang diikuti oleh
pertukaran cash secara harian antara
dua pihak (pihak yang untung dan pihak yang mengalami kerugian) sebagai proses
penyelesaian transaksi harian. Sementara itu, menurut Torben Juul Andersen pengertian
dari kontrak future adalah komitmen
legal bagi penjual untuk melakukan pengiriman atas underlying assets dan bagi pembeli untuk menerima underlying assets tersebut dalam
kualitas dan kuantitas yang terstandarisasi pada satu waktu tertentu. Kontrak future sendiri diperjualbelikan dalam
pasar future. Komoditas dalam kontrak
tersebut diawali oleh pasar bahan dasar seperti hasil pertanian dan hasil
tambang. Perkembangan pasar tersebut didorong oleh standarisasi terhadap
kontrak futures sehingga memudahkan
proses pertukaran antar kontrak dalam bursa perdagangan di pasar futures.
Hakikat terbentuknya pasar future merupakan sebuah bentuk fasilitas kerjasama dalam berbagi
risiko antara pihak yang pemilik risiko dengan pihak lain yang mau menanggung
risiko dari pihak pemilik risiko. Future trading oleh para produsen
dijadikan sarana untuk melakukan lindung
nilai, yaitu startegi untuk mengurangi risiko yang diakibatkan oleh
fluktuasi harga. Sedangkan dalam perkembangan selanjutnya, para spekulator atau
spekulan dari pemilik modal mulai melihat bahwa kontrak ini sangat menarik
untuk dikembangkan menjadi instrumen untuk spekulasi. Seorang spekulator dapat
saja membeli kontrak future untuk
penyerahan di masa datang, dan mulai spekulasi dengan perkiraan harga komoditas
pada saat penyerahan. Sehingga dalam hal ini para spekulator mengambil alih
risiko dari para petani. Sejak saat itulah terjadinya futures market
sebagai pasar untuk spekulasi para spekulan.
3. Option, Opsi adalah kontrak dimana salah satu pihak menyetujui
untuk membayar sejumlah imbalan kepada pihak yang lainnya untuk suatu
"hak" (tetapi bukan kewajiban) untuk membeli sesuatu atau menjual
sesuatu kepada pihak yang lainnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau
disepakati (Suwarno (2003)); misalnya saja ada seseorang yang khawatir bahwa
harga dari stok XXX akan turun sebelum ia sempat menjualnya, maka ia membayar
imbalan kepada seseorang lainnya (ini disebut "penjual" opsi jual /put
option) yang menyetujui untuk membeli stok daripadanya dengan harga yang
ditentukan didepan (strike price). Pembeli menggunakan opsi ini untuk
mengelola resiko turunnya nilai jual dari stok XXX yang dimilikinya, dilain
sisi si pembeli opsi mungkin saja menggunakan transaksi opsi tersebut untuk
memperoleh imbalan jasa dan mungkin telah memiliki suatu gambaran bahwa nilai
jual XXX tersebut tidak akan turun. Sebagai lawan dari opsi jual adalah opsi
beli atau biasa disebut call option dimana pada opsi beli ini memberikan
opsi kepada pembeli opsi hak untuk membeli aset acuan (underlying asset)
pada suatu tanggal yang disepakati dengan harga yang telah ditetapkan atau yang
dikenal dengan istilah option strike.
4. Swap, Secara umum penggunaan transaksi swap dalam industri
perbankan konvensional dilakukan atas dua jenis underlying asset yaitu nilai tukar dan suku bunga. Oleh sebab itu
pengertian dari swap itu sendiri merujuk kepada underlying assets yang digunakan, dimana swap dalam konteks nilai tukar mengandung pengertian sebagai
aktivitas pembelian dan penjualan mata uang secara simultan dalam nilai yang
sama untuk waktu jatuh tempo yang berbeda dengan harga kontrak swap dihitung
berdasarkan selisih harga mata uang atas dua periode jatuh tempo. Sementara
itu, pengertian swap dalam suku bunga
adalah perjanjian untuk melakukan penukaran pembayaran jenis suku bunga dalam
kewajiban yang dimiliki yaitu suku bunga tetap menjadi suku bunga mengambang
ataupun sebaliknya. Adapun mekanisme pricing
swap untuk suku bunga adalah selisih hasil deposit dana atas suku bunga yang
di-swap dalam jangka waktu yang disepakati (nilai deposit atas suku bunga tetap
dan nilai deposit atas suku bunga mengambang dalam periode yang sama sesuai
kesepakatan)(Fitch(1990)). Perjanjian swap adalah transaksi pertukaran dua
valuta melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan/pembelian
kembali secara berjangka yang dilakukan secara simultan dengan bank yang sama
dan pada tingkat premi atau diskon dan kurs yang dibuat dan disepakati pada
tanggal transaksi dilakukan.
Prinsip Dasar Pengelolaan Risiko dalam Syariah
Risiko merupakan salah satu bentuk dari kesulitan atau hal yang tidak diharapkan meskipun hal
tersebut timbul sebagai konsekuensi dari aktivitas ekonomi. Akan tetapi sebuah nilai dalam membuat sebuah keputusan ekonomi
bukan hanya ditentukan oleh risikonya tetapi lebih kepada terciptanya
kesejahteraan dan nilai yang bisa diperoleh. Risiko dapat menggambarkan nilai,
tetapi bukan risiko itu sendiri yang menentukan sebuah nilai. Hal ini
merepresentasikan perbedaan penting antara risiko terkalkulasi dan risiko yang merugikan.
Risiko terkalkulasi diperlukan dalam terwujudnya
sebuah nilai. Namun demikian, penciptaan nilai tambah dalam perhitungan
risiko dapat digolongkan sebagai bagian dari maysir. Pemikiran tersebut
diturunkan dari tulian Ibnu Taymiah sekitar 670 tahun yang lalu sebagai
berikut:
Risiko itu terbagi dua: risiko komersial (commercial risk), dimana
seseorang akan membeli suatu barang dengan tujuan untuk menjual barang tersebut
dan berserah diri kepada Allah atas hal tersebut. Risiko ini berlaku untuk para
pedagang, sekalipun seseorang mungkin menderita kerugian, namun hal ini natural
terjadi dalam perdagangan. Jenis risiko
lainnya adalah gambling, yang dilarang oleh Allah dan RasulNya.
Para
ahli keuangan syariah menggolongkan risiko ke dalam 2 jenis yaitu: yang dapat
diterima dan yang tidak dapat diterima. Agar suatu risiko dapat diterima,
terdapat tiga komponen yang mencirikannya yaitu: inevitability (tidak dapat dihindarkan); insignificance dan unintentional (lihat
al-Dharir [12], hal.587-612, Hasan [7], hal. 464-469)).
Instrumen Hedge Konvensional
dalam Pandangan Syariah
Lindung nilai pada dasarnya belum diterima sepenuhnya oleh para ahli
fiqih terutama praktek lindung nilai yang pada umumnya menitikberatkan pada
resiko yang berkaitan dengan fluktuasi nilai tukar. Masalah ini timbul
khususnya pada timbulnya riba, gharar dan maysir dalam transaksi
tersebut.
1. Kontrak Forward, Dalam kontrak forward,
potensi riba terjadi
pada saat jual beli instrumen forward
dimana harga instrumen forward
didasarkan atas nominal uang dalam kontrak jual beli yang akan dilindung nilai
berupa persentase (interest).
Sementara itu, kondisi gharar dalam
instrumen lindung nilai berupa forward
adalah penentuan harga mata uang saat ini untuk pembelian mata uang bersangkutan
di masa yang akan datang. Akhirnya, prinsip terakhir yaitu kondisi maysir juga
terjadi dalam instrumen forward pada
saat instrumen tersebut diperjualbelikan dalam pasar derivatif sebagai bentuk
tindakan spekulatif yang hanya mengejar keuntungan tanpa adanya barang dan jasa
yang dihasilkan
2. Kontrak Future, Kontrak
future secara nyata melanggar prinsip
syariah berupa larangan menjual sesuatu yang tidak ada atau sesuatu yang tidak
dimiliki sebagai bentuk gharar
(Obaidullah). Larangan tersebut
dalam mahzab Syafi’i bersifat umum
dan berlaku bagi semua komoditas. Sedangkan dari sudut pandang mahzab Hanafi menyatakan larangan
terhadap penjualan kembali sesuatu yang belum diterima atau belum dimiliki
sepenuhnya kecuali sesuatu tersebut merupakan properti riil. Mahzab
Hanafi tersebut didasarkan bahwa larangan penjualan kembali tersebut
didasarkan pada pelanggaran prinsip syariah berupa bebas gharar. Sementara itu, hakikat transaksi kontrak future merupakan jual beli kontrak yang
belum jatuh tempo yang tergolong dalam jual beli hutang atau bai-al-dayn-bi-al-dayn yang termasuk
golongan riba dan merupakan bentuk maysir
3.Kontrak
Option.
Secara umum, menurut the Islamic Fiqh Academy, Jeddah bahwa kontrak option yang
saat ini digunakan dalam pasar keuangan dunia merupakan sebuah tipe kontrak
baru yang tidak memiliki padanan pada akad-akad dalam syariah. Hal ini
didasarkan pada subyek kontrak yang merupakan sejumlah uang ataupun kemanfaatan
(hak khusus) dalam keuangan yang dapat dihapuskan sehingga kontrak dimaksud
dilarang dalam syariah (Obaidullah
(2005)). Penjelasan yang
lebih khusus sebagaimana yang dikatakan oleh Mufty Taqi Usmani bahwa perjanjian
dalam kontrak option dapat diterima
secara syariah, tetapi perdagangan dan pengenaan harga premium dalam kontrak
tersebut itulah yang tidak dapat diterima dalam syariah (Rohmah et.al. (2005)). Kedua pendapat diatas menegaskan bahwa isu utama dalam
kontrak option adalah masalah riba. Permasalahan lainnya yang menjadi
isu utama dalam transaksi option
adalah gharar dan maysir sebagai akibat adanya jual beli kontak option itu sendiri dalam pasar sekunder
4. Kontrak
SWAP,
Sebagaimana dijelaskan di atas, metode
penetapan harga dalam kontrak (instrumen) swap
dengan menggunakan rate atau bunga
atas transaksi jual beli valuta yang bersangkutan dalam pasar keuangan sehingga
dalam syairha kondisi ini termasuk dalam riba.
Sementara itu, penetapan harga diawal untuk pembelian valuta menimbulkan
permasalahan dalam prinsip syariah berupa gharar. Lebih lanjut, pelanggaran
prinsip syariah berupa maysir dapat
terjadi bila kontrak swap tersebut
diperjualbelikan dalam pasar keuangan. Selain ketiga prinsip syariah yang telah
disebutkan sebelumnya, terdapat pelanggaran prinsip syariah lainnya yaitu
kontrak yang disertai persyaratan atas kontrak ataupun transaksi lainnya (dua
perjanjian yang saling terkait) dimana kondisi tersebut termasuk dalam ta’aluq
Kesimpulan dari analisis kesesuaian terhadap prinsip syariah diatas menunjukkan bahwa permasalahan utama dalam
instrumen lindung nilai yang ada saat ini (forward,
future, options, dan swap)
terhadap kepatuhan merupakan penetapan harga premium berbasis rate atau bunga,
penetapan harga jual valuta saat ini untuk penyerahan di masa yang akan datang
dan jual beli kontrak tersebut di pasar keuangan. Lebih jauh lagi, fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
dalam jual beli valuta adalah dilakukan secara spot dan indeks jualbeli valuta untuk masa yang akan datang berdasarkan prinsip syariah juga belum
tersedia sehingga penerapan maupun modifikasi instrumen konvensional menjadi
instrumen derivatif yang memenuhi prinsip syariah adalah tidak dapat dilakukan.
pengembangan
lindung nilai dalam perbankan syariah harus diarahkan dari pendekatan komersial
(tijari) yang berorientasi terhadap jual beli instrumen hedge menjadi pendekatan investasi dan tolong menolong atau
berbagi risiko (ta’awun). Hal ini didasarkan pada konsep pengelolaan risiko dalam
syariah menekankan pada risk sharing
dan menghindari adanya risk transfer. Perbedaan antara risk sharing dan risk transfer terletak
pada usaha untuk mengindari risiko dimana transfer
risk ditempuh melalui pembelian sebuah instrumen yang dapat meng-cover risiko yang dihadapi, sedangkan risk sharing merupakan usaha bersama
baik berupa aktivitas finansial maupun aktivitas bisnis untuk meng-cover risiko yang akan dihadapi
dikemudian hari. Lebih lanjut dalam kerangka hedge, bank syariah menghadapi risiko nilai tukar atas transaksi
dalam perdagangan luar negeri sehingga membutuhkan dana talangan yang dapat
digunakan untuk meng-cover
kemungkinan kerugian atas volatilitas nilai tukar pada saat kewajiban bank
syariah tersebut jatuh tempo di masa yang akan datang. Dengan menggunakan
konsep tolong -menolong (ta’awun)
maka penghimpunan dana talangan tersebut dilakukan secara bersama-sama oleh
perbankan syariah dan lembaga lain atas dasar sukarela (Islamic hedge fund). Namun demikian, kondisi volatilitas nilai
tukar tidak selamanya mengakibatkan kerugian atau dengan kata lain mendatangkan
keuntungan dimana setiap peserta dalam dana talangan tersebut memiliki porsi
atas keuntungan tersebut sesuai kontribusinya. Untuk itulah skema dalam hedge dengan menggunakan Islamic hadge fund menggunakan akad
kafalah terutama untuk skema penjaminan
nilai tukar dan menggunakan prinsip kemitraan berdasarkan akad mudharabah dan
musyarakah untuk skema investasi
(berkaitan dengan keuntungan atas volatilitas nilai tukar).
Sumber :
Achmad Baraba. PRINSIP DASAR OPERASIONAL PERBANKAN SYARIAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar