Sebagai bagian dari
hukum acara (formeel recht), maka Hukum Acara Perdata mempunyai
ketentuan-ketentuan pokok yang bersifat umum dan dalam penerapannya hukum acara
perdata mempunyai fungsi untuk mempertahankan, memelihara, dan menegakan
ketentuan-ketentuan hukum perdata materil. Oleh karena itu eksistensi hukum
acara perdata sangat penting dalam kelangsungan ketentuan hukum perdata
materil.
Adapun beberapa
pengertian hukum acara perdata menurut beberapa pakar hukum
Prof. Dr. Wirjono
Prodjodikoro, SH
Beliau mengemukakan
batasan bahwa hukum acara perdata sebagai rangkaian peraturan yang memuat cara
bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara
bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan hukum perdata.
Prof. Dr. Sudikno
Mertukusumo, SH
Member batasan hukum
acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin
ditaatinya hukum perdata material dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan
lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menetukan bagaimana
caranyamenjamin pelaksanaan hukum perdata material. Lebih kongkrit lagi
dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya
mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya, dan pelaksanaan dari pada
putusannya.
Prof. Dr. R. Supomo, SH
Dengan tanpa memberikan
suatu batasan tertentu, tapi melalui visi tugas dan peranan hakin menjelaskan
bahwasanya dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum
perdata (burgerlijk rechtsorde) menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam
suatu perkara.
Berdasarkan pengertian
–pengertian yang dikemukakan diatas serta dengan bertitik tolak kepada aspek toeritis
dalam praktek peradilan, maka pada asasnya hukum acara perdata adalah :
Peraturan hukum yang mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses seseorang
mengajukan perkara perdata kepada hakim/pengadilan. Dalam konteks ini,
pengajuan perkara perdata timbul karena adanya orang yang merasa haknya
dilanggar orang lain, kemudian dibuatlah surat gugatan sesuai syarat peraturan
perundang-undangan.
Peraturan hukum yang
menjamin, mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses hakim mengadili
perkara perdata. Dalam mengadili perkara perdata, hakim harus mendengar kedua
belah pihak berperkara (asas Audi Et Alterm Partem). Disamping itu juga, proses
mengadili perkara, hakim juga bertitik tolak kepada peristiwanya hukumnya,
hukum pembuktian dan alat bukti kedua belah pihak sesuai ketentuan
perundang-undangan selaku positif (Ius Constitutum)
Peraturan hukum yang
mengatur proses bagaimana caranya hakim memutus perkara perdata. Peraturan
hukum yang mengatur bagaimana tahap dan proses pelaksanaan putusan hakim
(Eksekusi).
B. Sumber-sumber hukum
acara perdata.
Dalam praktek peradilan
di Indonesia saat ini, sumber-sumber hukum acara perdata terdapat pada berbagai
peraturan perundang-undangan.
HIR (Het Herzine
Indonesich Reglemen) atau Reglemen Indonesia Baru, Staatblad 1848.
RBg (Reglemen
Buitengwesten) Staatblad 1927 No 277
Rv (Reglemen Hukum
Acara Perdata Untuk golongan Eropa)
Staatblad No 52 Jo
Staatblad 1849 No.63. namun sekarang ini Rv tidak lagi digunakan karena berisi
ketentuan hukum acara perdata khusus bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang
dipersamakan dengan mereka dimuka (Raad van Justitie dan Residentiegerecht.
Tetapi Raad Van Justitie telah dihapus, sehingga Rv tidak berlaku lagi. Akan
tetapi dalam praktek peradilan saat ini eksistensi ketentuan dalam Rv oleh
Judex Facti (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi) serta Mahkamah Agung RI
tetap dipergunakan dan dipertahankan.
Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Undang-Undang.UU No.4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No.5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung,
yang mengatur tentang hukum acara kasasi UU No.8 Tahuun 2004 Tentang Peradilan
Umum. UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya. UU No. 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
C. Asas-Asas Hukum
Acara Perdata Indonesia
Bertitik tolak kepada
praktek peradilan Indonesia maka dapatlah disebutkan beberapa asas-asas umum
hukum acara perdata Indonesia. Peradilan yang terbuka untuk umum (Openbaarheid
Van Rechtsspraak)
Peradilan yang terbuka
untuk umum merupakan aspek fundamental dari hukum acara perdata. Sebelum
perkara disidangkan, maka hakim ketua harus menyatakan bahwa “persidangan
terbuka untuk umum” sepanjang undang-undang tidak menentukan lain. (Mis : dalam
perkara persidangan perkara perceraian siding dinyatakan tertutup untuk umum.
Apabila hal ini tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan putusan batal demi hukum
(Pasal 19 Ayat 1 dan 2 UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Hakim bersifat Pasif
(Lijdelijkeheid Van De Rehter) Dalam asas ini terdapat sebuah aturan yang
dikenal dengan (Nemo Judex Sine Actore) yang artinya apabila gugatan tidak
diajukan oleh para pihak, maka tidak ada hakim yang mengadili perkara bersangkutan.
Mendengar Kedua belah pihak. Pemeriksaan dalam dua instansi (Onderzoek In Tween
Instanties) Pengawasan Putusan Lewat Kasasi.
Peradilan dengan
membayar biaya. Peradilan perkara perdata pada asanya dikenakan biaya perkara
(Pasal 4 Ayat 2, Pasal 5 Ayat 2, UU No 4 Tahun 2004. Pasal 121 Ayat 4 HIR/Pasal
145 Ayat 4, 192, 194 RBg. Bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara
dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri setempat untuk
berperkara secara Cuma-Cuma (ProDeo).
D. Susunan Badan Peradilan
di Indonesia.
Menurut UUD 1945 bahwa
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh
mahkamah agung dan badan peradilan dibawahnya. Jenis dan dasar badan peradilan
di Indonesia terdapat dalam pasal 10 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004, dikenal empat
lingkungan peradilan di Indonesia yaitu :
1. Peradilan Umum (UU
No 8 Tahun 2004)
2. Peradilan Agama (UU
No 3 Tahun 2006)
3. Peradilan Militer
(UU No 31 Tahun 1997)
4. Peradilan Tata Usaha
Negara (UU No 9 Tahun 2004)
Keempat badan peradilan
tersebut kesemuanya dibawah Mahkamah Agung RI. Berdasarkan pasal 11 (1) UU No 4
Tahun 2004. Mahkamah Agung RI merupakan pengadilan Negara tertinggi dari
keempat lingkungan peradilan sebagaimana disebutkan diatas. Selanjutnya pada
ayat dua (2) disebutkan, kewenangan Mahkamah Agung RI adalah :
Mengadili pada tingkat
kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan
dimana semua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung.
Menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Kewenangan
lain yang diberikan undang-undang.
Peradilan umum adalah
peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai perkara perdata maupun pidana yang
dijalankan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Di dalam peradilan
umum diberntuk beberapa pengadilan khusus yang berada dilingkungan pengadilan
negeri yaitu :
1. Pengadilan niaga
(pasal 280 UU No.4 Tahun 1998 Tentang kepailitan)
2. Pengadilan anak
(pasal 2 UU No.3 Tahun 1997 Tentang pengadilan anak)
3. Pengadilan hak asasi
manusia (pasal 2 UU No.26 Tahun 2000 Tentang pengadilan HAM)
4. Pengadilan tindak
pidana korupsi
5. Pengadilan hubungan
industrial (pasal 1 angka 17 UU No.2 Tahun 2004 Tentang penyelesaian
Perselisihan hubungan industrial.)
6. Pengadilan
perikanan.
7. Peradilan Agama,
Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus karena mengadili
perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Berdasarkan UU No.3
Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama, kewenangan pengadilan agama diperluas
sebagaimana diatur dalam pasal 49 yaitu :pengadilan agama bertugas dan
berwewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama
antara orang-orang beragama Islam di bidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, infaq, zakat, dan ekonomi syari’ah.
http://tugasmakalahmuamalat.blogspot.com/2012/11/pengertian-hukum-perdata.html
Hukum perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini
lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini
berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang
mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli
barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya
seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan,
letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena
hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh
pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat
hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan
yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan
harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas
sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta
kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian
atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui
bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of
property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang
hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal
law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu
hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak
yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo
memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta
kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak
(kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara
sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau
beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya
untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang
berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang
sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan
hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi
tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian
tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu
pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya
dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan
yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan
antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan
dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud
dengan system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang
bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang
diatur dengan undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan
berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah
diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat
sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan
perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan
sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu
untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian
Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah
sebagai berikut.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang
saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal
1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari
undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat
perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
.Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya
di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban
alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata
mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang
berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di
atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral
dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah
wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka
hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
Azas-azas dalam hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku
III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas
konsensualisme.
· Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan
berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa
segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
· Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya
bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak
mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan
demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan
Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak
yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang
pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk
membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum,
yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal
tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis,
jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban
tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para
pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal,
artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan
oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum
Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak
(debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang
melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur
(Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang
diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah
dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal
1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah
pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu
peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi
obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi
kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara
penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
Pembaharuan utang (inovatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan
hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya
yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada tiga macam novasi yaitu :
1) Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada
diganti dengan perikatan lain.
2) Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya
diganti oleh debitur lain.
Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya
perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing
merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua
orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua
orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua
mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal
1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan
sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua utang tersebut
dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai utang Rp.
400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh
Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
– Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
- Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan.
Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat
diganti.
- Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih
seketika.
Pembebasan utang
Undang-undang tidak memberikan definisi tentang
pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum
dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari
debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan
secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan
kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag
dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan
utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya
pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti
tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi
hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap untuk
membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka
dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang yang
diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2)
pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan
debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung
utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
Musnahnya barang yang terutang
Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu
perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti
telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force majeur, sehingga undang-undang
perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut.
Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang
demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar
salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok
pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan
untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan
dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan
menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal
pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
Disebut batal demi hukum karena kebatalannya
terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya persetujuan dengan causa tidak
halal atau persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri adalh batal demi
hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh
hukum dianggap tidak pernah terjadi. Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B
dengan akta dibawah tangan, maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan
hukum tersebut adalah batal demi hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat
setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada
putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang
tidak cakap untuk membuat perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya
kepada B dan kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah
pasti karena wali dari A atau A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan
kepada hakim agar jual beli dan penyerahannya dibatalkan. Undang-undang
menentukan bahwa perbuata hukum adalah batal demi hukum jika terjadi
pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban
umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi ketertiban
masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika undang-undang
ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.
Syarat yang membatalkan
Yang dimaksud dengan syarat di sini adalah ketentun
isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi
mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini
disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu
sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan
semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. Lain halnya dengan syarat
batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan isi perikatan, di sini justru
dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir atau
berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang
bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan menjadi batal, dan
pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada sejak dipenuhinya
syarat itu.
Kedaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau
waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari
suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat
yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut ketentuan ini,
lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, maka
perikatan hapus.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat
diketehui ada dua macam
lampau waktu, yaitu :
(1). Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas
suatu barang, disebut
”acquisitive prescription”;
(2). Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu
perikatan atau dibebaskan
dari
tuntutan, disebut ”extinctive prescription”;
Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa
belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah
terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah daluwarsa lebih singkat
dan praktis.
http://p4hrul.wordpress.com/2012/04/19/hukum-perikatan/
Contoh
kasus perikatan
JAKARTA - Komisi I DPR
mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan PT Prima Jaya Informatika (PJI)
dan Yayasan Olahraga Indonesia, Selasa, 9 Oktober kemarin. Hadir dalam
kesempatan itu Direktur PT. PJI Tonny Djayalaksana.
Dalam keterangannya, Tonny berupaya melakukan pembelaan dihadapan anggota
dewan. Dia menyoroti sikap Telkomsel yang sengaja melakukan pemutusan hubungan
kerjasama, yang menurutnya ada kejanggalan dalam pemutusan kerja sama dengan
Telkomsel.
"Ada dua faktor yang janggal dalam pemutusan kerja sama. Yang pertama PT.
PJI dianggap sebagai direksi lama, jadi segala sesuatu yang terkait direksi
lama di cut off. Dan yang menjadi faktor kedua ada kesan ingin
mematikan bisnis distribusi PT. PJI," kata Tonny.
Menurut versi PT. PJI, pergantian direksi Telkomsel dilakukan pada 16 Mei dan
selang beberapa hari, tepatnya pada 30 Mei 2012, salah satu staff perusahaan
telekomunikasi itu mengirimkan surat pemutusan kerja sama ke PT. PJI.
Berikut petikan surat yang dikirimkan Telkomsel melalui email kepada
PT. PJI yang dibacakan Tonny saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi I:
“Per 30 Mei, Kami baru saja mendapatkan informasi dari management terkait
distribusi kartu prima, sehubungan dari pergantian direksi kami yang baru, pada
siang ini, diputuskan dan diperintahkan oleh direksi yang baru untuk distribusi
kartu prima dan vouchernya ditunda sampai batas waktu yang belum ditentutak,
jika ada informasi terbaru mengenai keputusan distribusi kartu prima beserta
vouchernya akan kami informasikan secepatnya, untuk itu kami atas nama
Telkomsel, memohon maaf atas keputusan yang cukup mendadak ini."
Itulah yang menjadi sebab yang akhirnya berdampak pada gugatan pailit, dimana
pemutusan kerjasama sepihak yang nilainya mencapai Rp200 miliar pada Juni 2012
lalu, dianggap telah merugikan PT. PJI.
Seperti diketahui, menurut kesepakatan, kerjasama sejak diteken per 1 Juni
2011, kerjasama semestinya berlaku selama tiga tahun atau hingga 1 Juni 2013
mendatang. Kerjasama dalam bentuk distribusi kartu voucher isi ulang dan kartu
perdana prabayar berdesain atlet nasional.
Selanjutnya, PN Jakpus mengabulkan permohonan PT Prima Jaya terhadap Telkomsel.
Pengadilan menyatakan bahwa PT Telkomsel pailit dan menunjuk hakim pengawas
dari PN Jakpus untuk mengawal kepailitan PT Telkomsel.
Akibat putusan pailit dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Telkomsel mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Berkas kasasi yang diajukan pada 21 September
akan diterima MA pada pekan ini.
Anggota Komisi I Roy Suryo mengatakan, pihaknya saat ini hanya memiliki
wewenang untuk mendengarkan duduk persoalan dari kedua belah pihak. "Kami
mencoba untuk terbuka dan mendengarkan penjelasan dari kedua belah pihak,"
ungkapnya.
Roy pun menolak memberikan komentar sejumlah kabar kejanggalan yang terjadi
dalam putusan pailit Telkomsel.
"Saya tidak dapat mengomentari kabar-kabar diluar wewenang Komisi I, kami
disini hanya menginginkan kasus yang menimpa Telkomsel tidak berdampang ke
pelanggan," jelasnya.
http://techno.okezone.com/read/2012/10/10/54/701717/large
HUKUM
PERJANJIAN
Pengertian
Perjanjian
Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian perjanjian
ini mengandung unsur :
a.
Perbuatan,
Penggunaan
kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti
dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan
tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
b. Satu
orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,
Untuk
adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling
berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama
lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
c. Mengikatkan
dirinya,
Di dalam
perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada
pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang
muncul karena kehendaknya sendiri.
Standart
Kontrak
a)
Menurut Remi Syahdeini,
keabsahan
berlakunya kontrak baru tidak perlu lagi dipersoalkan karena kontrak baru
eksistensinya sudah merupakan kenyataan. Kontrak baru lahir dari kebutuhan
masyarakat. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung dengan kontrak baru yang masih
dipersoalkan. Suatu kontrak harus berisi :
1. Nama
dan tanda tangan pihak-pihak yang membuat kontrak.
2. Subjek
dan jangka waktu kontrak
3. Lingkup
kontrak
4.
Dasar-dasar pelaksanaan kontrak
5.
Kewajiban dan tanggung jawab
Pembatalan
kontrak
b) Menurut
Mariam Darus, standar kontrak terbagi 2 yaitu umum dan khusus.
- Kontrak standar umum artinya
kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan
disodorkan kepada debitur.
- Kontrak standar khusus,
artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan
berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Macam-macam
Perjanjian
Macam-macam perjanjian obligator
ialah sebagai berikut;
- Perjanjian dengan Cuma-Cuma
dan Perjanjian Dengan Beban.
- Perjanjian dengan Cuma-Cuma
adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan
kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal
1314 ayat (2) KUHPerdata).
- Perjanjian Dengan Beban adalah
suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan
kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
- Perjanjian Sepihak dan
Perjanjian Timbal Balik.
- Perjanjian Sepihak adalah suatu
perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja
- Perjanjian Timbal Balik adalah
suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
- Perjanjian Konsensuil, Formal
dan, Riil.
- Perjanjian Konsensuil adalah
perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak
yang mengadakan perjanjian tersebut.
- Perjanjian Formil adalah
perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan
cara tertulis.
- Perjanjian Riil adalah suatu
perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
- Perjanjian Bernama, Tidak
Bernama dan, Campuran.
- Perjanjian Bernama adalah suatu
perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan
kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata
ditambah titel VIIA.
- Perjanjian Tidak Bernama adalah
perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
- Perjanjian campuran adalah
perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit
dikualifikasikan.
Syarat-Syarat
Syahnya Suatu Perjanjian
Ada 4
syarat yaitu : (pasal 1320 KUHPer):
n Syarat
Subyektif :
- Sepakat
untuk mengikatkan dirinya;
- Cakap
untuk membuat suatu perjanjian
n Syarat
Obyektif :
- Mengenai
suatu hal tertentu;
- Suatu
sebab yang halal.
Saat
Lahirnya Perjanjian
Menetapkan
kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
- Kesempatan penarikan kembali
penawaran;
- Penentuan resiko;
- Saat mulai dihitungnya jangka
waktu kadaluwarsa;
- Menentukan tempat terjadinya
perjanjian
Berdasarkan
Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang
dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya
konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang
diperjanjikan.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak
yaitu:
- Teori Pernyataan (Uitings
Theorie). Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu
penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak
itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
- Teori Pengiriman (Verzending
Theori). Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat
lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal
lahirnya kontrak.
- Teori Pengetahuan
(Vernemingstheorie). Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada
saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
- Teori penerimaan
(Ontvangtheorie). Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat
diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau
dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada
alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya
kontrak.
Pembatalan
dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
- Pelaksanaan kontrak
Salah satu
pasal yang berhubungan langsung dengan pelaksanaannya adalah pasal 1338 ayat 3
yang berbunyi ”suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan etiket baik” .
Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan, pemberlakuan asas
tersebut dalam suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu :
- Fungsi melarang, artinya bahwa
suatu kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan itu dilarang atau
tidak dapat dibenarkan
- Fungsi menambah, artinya suatu
kontrak dapat ditambah dengan atau dilaksanakan dengan asas kepatutan.
Dalam hal ini kedudukan asas kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan
dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa isian tersebut, maka tujuan
dibuatnya kontrak tidak akan tercapai
Pembatalan
perjanjian
Pembelokan
pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh kesalahan
salah satu pihak konstruksi tersebut dikenal dengan sebutan wanprestasi atau
ingkar janji.
Wanprestasi
adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang
dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan
dalam kontrak.
Ada tiga
bentuk ingkar janji, yaitu :
- Tidak memenuhi prestasi sama
sekali
- Terlambat memenuhi prestasi,
dan
- Memenuhi prestasi secara tidak
sah.
Akibat
munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada pihak yang dirugikan untuk
menuntut penggantian kerugian yang dideritanya terhadap pihak yang wanprestasi.
Pihak yang wansprestasi memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada
pihak yang menderita kerugian.
sumber: http://franzgriuz.wordpress.com/2013/04/09/hukum-perjanjian-dan-contoh-kasus/
Contoh
kasus perjanjian
yang terjadi baru-baru
ini, dapat dilihat pada suara pembaca detik.com tanggal 12 April 2011 yang
berjudul “Dipaksa Menandatangani Perjanjian Disertai Ancaman Hukum.” Yang
menceritakan kisah LB, karyawan perusahaan portal lowongan kerja yang berkantor
di wilayah Slipi, Jakarta Barat. Meskipun LB berstatus karyawan di perusahaan
asing tersebut, LB tidak menerima gaji sebagaimana layaknya karyawan di
perusahaan sejenis di tempat lain, karena setiap bulannya LB hanya menerima
kompensasi apabila ada penjualan. Singkat cerita, karena LB memutuskan untuk
meninggalkan perusahaan tersebut dan bergabung dengan perusahaan lain di
industri yang sama, General Manager (GM) perusahaan asing tersebut melarang LB
untuk pindah ke perusahaan lain, dan ’memaksa’ LB menandatangani surat
perjanjian. Bahkan LB berkali-kali diancam akan diseret ke meja hijau oleh
perusahaan asing tersebut.
Kalau sudah begini keadaannya, saya jadi mempertanyakan peranan Pemerintah
khususnya departemen Tenaga Kerja dalam memberikan perlindungan bagi warga
negara Indonesia yang memperjuangkan kesejahteraan hidupnya dan keluarganya?
Apakah kekuasaan yang dimiliki oleh kaum kapitalis di Indonesia dapat
mengontrol atau bahkan membukam pemerintah? Padahal, apabila kita berpedoman
pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2 yang berbunyi “Tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,”
seharusnya kasus LB tidak pernah terjadi di Indonesia.