Harmonisasi dan Konvergensi Pencatatan Amerika dan Indonesia
Globalisasi membawa implikasi bahwa hal-hal yang dahulunya
merupakan kewenangan dan tangungjawab tiap negara akan dipengaruhi oleh dunia
internasional. Demikian pula dengan pelaporan keuangan dan standar akuntansi
suatu negara. Tentu saja hal ini akan menimbulkan suatu masalah ketika standar
akuntansi yang dipakai di negara tersebut berbeda dengan standar akuntansi yang
dipakai di negara lain. Investor dan kreditor serta calon investor dan calon
kreditor akan menemui banyak kesulitan dalam memahami laporan keuangan yang
disajikan dengan standar yang berbeda-beda, sehingga hal ini menyebabkan
laporan keuangan yang dibuat oleh perusahaan di suatu negara tidak akan dapat
diterima di negara lain, khususnya untuk
perusahaan yang multinasional. Untuk mencegah munculnya
permasalahan-permasalahan yang diakibatkan adanya perbedaan dalam standar
akuntansi yang digunakan oleh berbagai negara, Dewan Komite Standar Akuntansi
Internasional (Board of IASC) yang didirikan pada tahun 1973
mengeluarkan standar akuntansi internasional (IAS). Keluarnya IAS tersebut
diikuti dengan beberapa intepretasi tentang IAS dalam bentuk SIC (Standing
Intepretation Committee).
Setiap
negara pastinya mempunyai standar akuntansi nasional untuk negaranya
masing-masing, entah itu dengan membuat sendiri maupun dengan mengadopsi standar
akuntansi dari negara lain atau dari standar akuntansi internasional untuk
kemudian dijadikan sebagai standar akuntansi untuk negaranya, menggingat
penerbitan regulasi akuntansi (standar) adalah sebuah proses yang mahal. Namun
setiap negara mempunyai cara yang berbeda-beda sehingga antar satu negara
dengan negara yang lain bisa berbeda standarnya. Standar akuntansi di Amerika Serikat
memperbolehkan goodwill dikapitalisasi dan dijadikan beban hanya jika goodwill
tersebut mengalami penurunan nilai, sedangkan di beberapa negara lain goodwill
dapat diamortisasi dengan periode yang berbeda-beda. Setiap negara memiliki
cara pencatatan yang berbeda-beda. Ini dapat memperlambat kinerja dari
perusahaan multinasional, maka diperlukannya harmonisasi atau konvergensi.
Harmonisasi berarti dapat juga berarti sebagai sekelompok negara
yang menyepakati suatu standar akuntansi yang mirip, namun mengharuskan adanya
pelaksanaan yang tidak mengikuti standar harus diungkapkan dan direkonsiliasi
dengan standar yang disepakati bersama (Sadjiarto, 1999). Mogul (2003) mendefinisikan
harmonisasi standar akuntansi sebagai proses yang berkesinambungan untuk
memastikan bahwa prinsip akuntansi yang berlaku umum dirumuskan, selaras dan
diperbarui dengan praktek internasional terbaik (GAAPs di negara-negara lain)
dengan modifikasi sesuai dan mempertimbangkan kondisi domestik. Secara
sederhana pengertian harmonisasi standar akuntansi dapat diartikan bahwa suatu
negara tidak mengikuti sepenuhnya standar yang berlaku secara internasional.
Negara tersebut hanya membuat agar standar akuntansi yang mereka miliki tidak
bertentangan dengan standar akuntansi internasional.
Konvergensi dalam standar akuntansi dan dalam konteks
standar internasional berarti nantinya ditujukan hanya akan ada satu standar.
Satu standar itulah yang kemudian berlaku menggantikan standar yang tadinya dibuat
dan dipakai oleh negara itu sendiri. Sebelum ada konvergensi standar biasanya
terdapat perbedaan antara standar yang dibuat dan dipakai di negara tersebut
dengan standar internasional.
Konvergensi standar akan menghapus perbedaan tersebut
perlahan-lahan dan bertahap sehingga nantinya tidak akan ada lagi perbedaan
antara standar negara tersebut dengan standar yang berlaku secara
internasional. Program kovergensi IASB (International Accounting Standard
Board) mengharapkan bahwa standar akuntansi di dunia menjadi satu. IFRS
sebagai standar global dalam konvergensi tidak hanya dipatuhi dalam
pengaturannya saja oleh badan penyusun standar tetapi juga harus dipatuhi dalam
penerapannya oleh para pengguna.
Hambatan-hambatan dalam Harmonisasi dan Konvergensi
Standar Akuntansi Internasional
1.
Penerjemahan Standar Internasional
IFRS diterbitkan dalam bahasa Inggris. Untuk memudahkan
pemahaman pengguna standar maka IFRS perlu diterjemahkan dalam bahasa
masing-masing negara. Hal inilah yang menjadi masalah utama dalam adopsi dan
penerapan IFRS. Permasalahan ini timbul karena para penerjemah mengalami
kesulitan dalam memahami arti sebenarnya istilah-istilah dalam teks bahasa
Inggris tersebut.
2.
Ketidaksesuaian antara Stándar Internasional dan Hukum Nasional
Masalah utama
lainnya adalah ketidaksesuaian antara standar internasional dengan hukum
nasional. Pertama, pada
beberapa negara, standar akuntansi termasuk sebagai bagian hukum nasional,
sehingga standar akuntansi ditulis dalam bahasa hukum sehingga harus diubah
oleh dewan standar akuntansi masing-masing negara.
3.
Struktur dan Kompleksitas Standar Internasional
Masalah selanjutnya adalah adanya kekhawatiran bahwa standar internasional
akan menjadi semakin tebal, semakin komplek, dan rule-based approach. Kekhawatiran
timbul, jangan-jangan standar akuntansi akan mengatur secara detail setiap
transaksi sehingga penyusunan laporan keuangan harus mengikuti secara detail
langkah-langkah pencatatan suatu transaksi tersebut.
4.
Frekuensi Perubahan dan Kompleksitas Standar Internasional
Standar akuntansi internasional perlu dipahami secara jelas sebelum
diterapkan. Hal ini tentu membutuhkan cukup waktu bagi penyusunan laporan
keuangan untuk memahami standar akuntansi. Apabila suatu standar akuntansi
sering berubah-ubah maka sangat susah bagi laporan keuangan, auditor, dan
pengguna laporan keuangan untuk memahami standar tersebut, apalagi
menerapkannya. Selain itu suatu standar akuntansi yang kompleks akan
menyulitkan pengguna standar untuk memahaminya.
5.
Kurang Buku Ajar yang Berbasis IFRS
Kesulitan dalam menerapkan IFRS sedikit banyak juga dipengaruhi dari dasar
pengembangan IFRS yang menggunakan "principle based" bukan "rule
based". Sehingga IFRS, tidak mengatur secara terinci yang nantinya
akan menyimpang dan mengarah ke "rule based". Keuntungan
"principle based" antara lain membuat aturannya menjadi cukup
fleksibel sehingga dapat diterima dan diterapkan di seluruh negara anggotanya
(IAAP, 2006).
Sebagaimana
Amerika Serikat, Jepang awalnya menolak pemberlakuan IFRS. Namun, karena
dipengaruhi oleh arah pergerakan global menuju pemberlakuan IFRS, tekanan Uni
Eropa dan pengaruh kuat dari Amerika Serikat, Jepang akhirnya menetapkan
konvergensi IFRS pada 2009 dan adopsi penuh IFRS pada 2012
Sejak 2004, profesi akuntan
di Indonesia telah melakukan harmonisasi antara PSAK (Indonesian GAAP)
dan IFRS. Konvergensi IFRS diharapkan akan tercapai pada 2012. Walaupun IFRS
masih belum diterapkan secara penuh saat ini, persiapan dan kesiapan untuk
menyambutnya akan memberikan daya saing tersendiri untuk entitas bisnis di
Indonesia.
Dengan kesiapan adopsi IFRS
sebagai standar akuntansi global yang tunggal, perusahaan Indonesia akan siap
dan mampu untuk bertransaksi, termasuk merger dan akuisisi (M&A), lintas negara.
Tercatat sejumlah akuisisi lintas negara telah terjadi di Indonesia, misalnya
akuisisi Philip Morris terhadap Sampoerna (Mei 2005), akuisisi Khazanah Bank
terhadap Bank Lippo dan Bank Niaga (Agustus 2005), ataupun UOB terhadap Buana
(Juli 2005). Sebagaimana yang dikatakan Thomas Friedman, “The World is
Flat”, aktivitas M&A lintas negara bukanlah hal yang tidak lazim.
Karena IFRS dimaksudkan sebagai standar akuntansi tunggal global, kesiapan
industri akuntansi Indonesia untuk mengadopsi IFRS akan menjadi daya saing di
tingkat global. Inilah keuntungan dari mengadopsi IFRS (IAI, 2008).
Sedangkan untuk perusahaan
kecil dan menengah Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) pada bulan Juli 2009
telah mengesahkan salah satu standarnya yang diberi nama Standar Akuntansi
Keuangan Entitas tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP). Sesuai dengan namanya maka
sasaran pengguna dari standar ini adalah entitas yang tidak memiliki tanggung
jawab akuntabilitas kepada publik (ETAP). SAK ETAP beranalogi dengan IFRS SMEs
(Small and Medium Enterprises),
bahkan semangat pengembangan SAK ETAP berasal dari IFRS SMEs namun dengan
beberapa penyesuaian.
Selain itu pelaporan
transaksi keuangan berbasis syariah juga terus dikembangkan, dimana Komite
Akuntansi Syariah Dewan Standar Akuntasi Keuangan menerbitkan enam Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) bagi seluruh lembaga keuangan syariah yang
akan berlaku 1 Januari 2008. Dalam penyusunan PSAK tersebut, Komite Akuntansi
Syariah mengacu pada Pernyataan
Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) Bank Indonesia, selain juga pada sejumlah
fatwa akad keuangan syariah yang diterbitkan oleh Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (Prabandari dan Dinisari, 2007).
Sumber :
Novi kurniawati. Standar akuntansi internasional: Harmonisasi versus konvergensi