Relevansi : Inflasi terhadap Laporan Keuangan
Indonesia adalah salah satu negara berkembang.
Masalah umum yang sering dihadapi negara berkembang adalah tingginya tingkat
inflasi. Sejak krisis moneter tahun 1998, harga-harga di pasaran cenderung
naik. Tahun 2007 tingkat inflasi di
Indonesia adalah 6,59 persen. Hal ini bisa diartikan bahwa aktiva yang dimiliki
harganya akan berkurang sebesar 6.59 persen sedangkan pendapatan dinilai
terlalu tinggi sebesar angka yang sama. Pada saat ini pasar modal menjadi
primadona yang dipilih investor untuk meninvestasikan modalnya. Namun untuk
menginvestasikan modal dalam saham tidak semudah membalik telapak tangan.
Investor harus mengetahui kemampulabaan perusahaan yang akan dibeli sahamnya.
Bagaimana ketahanan suatu perusahaan dalam menghadapi persaingan dan moneter
yang sulit diprediksi. Informasi mengenai suatu perusahaan yang menjual
sahamnya di pasar modal dapat diketahui melalui laporan keuangannya. Laporan
keuangan merupakan informasi yang penting bagi pengguna laporan keuangan dalam
rangka menilai kinerja keuangan perusahaan secara keseluruhan. Informasi
laporan keuangan dianggap memiliki nilai kualitas informasi jika memenuhi dua
unsur yaitu dapat diandalkan (reliable) dan relevance bagi pengguna laporan
keuangan.
Banyak study mengenai inflasi di negara-negara
berkembang, menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena
moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation.
Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada
umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber
dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian
musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang
memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term of
trade; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi
harga di pasar domestik. Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan
atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut
dengan structural bottlenecks. Strucktural bottleneck terutama terjadi dalam
tiga hal, yaitu : 1. Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis. Hal
ini dikarenakan pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih
menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi
supply dari sektor pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan
permintaannya.
2. Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil)
akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor.
Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor
barang-barang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal yang sangat
dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Belum lagi
ditambah dengan adanya demonstration effect yang dapat menyebabkan perubahan
pola konsumsi masyarakat. Akibat dari lambatnya laju pembangunan sektor
industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak dapat
mengimbangi laju pertumbuhan permintaan. 3. Pengeluaran pemerintah terbatas.
Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup
untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja,
sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun
mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang (printing of money).
Historical Cost, dunia usaha pada umumnya selalu
mendasarkan diri pada historical cost yaitu asumsi adanya stable monetary unit
yang mengakibatkan semua transaksi yang terjadi dicatat atas dasar nilai
historis atau nilai yang didapat saat terjadi transaksi. Di sisi lain disadari
pula bahwa stable monetary unit tersebut pada kenyataannya tidak ada, apalagi
pada Negara yang menganut ekonomi terbuka seperti Indonesia. . Penggunaan nilai
historis dalam akuntansi finansial disebabkan karena beberapa alasan: 1.
Relevan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Bagi manajer dalam membuat keputusan
masa depan diperlukan data transaksi masa lalu. 2. Nilai historis yang
berdasarkan data obyektif dapat dipercaya, dapat diaudit dan lebih sulit untuk
memanipulasi bila dibandingkan dengan nilai yang lain seperti current cost
ataupun replecement cost. 3. Karena telah disepakati berlakunya prinsip
akuntansi pada penggunaan nilai historis memudahkan untuk melakukan
perbandingan baik antara industri maupun antar waktu untuk suatu industri.
General Price Level Accounting (GPLA) Di Indonesia,
General Price Level accounting dikenal sebagai Akuntansi tingkat harga umum
menyatakan bahwa nilai sesungguhnya dari Rupiah (disingkat Rp) ditentukan oleh
barang atau jasa yang dapat diperoleh, yang biasa disebut daya beli. Dalam masa
inflasi ataupun deflasi, jumlah barang/jasa yang dapat diperoleh berubah dengan
nilai uang nominal yang konstan, yang berarti bahwa daya beli Rupiah berubah.
Akuntansi tingkat harga umum akan mengadakan penyajian kembali
komponen-komponen laporan keuangan ke dalam Rupiah pada tingkat daya beli yang
sama, namun sama sekali tidak mengubah prinsip-prinsip akuntansi yang digunakan
dalam akuntansi berdasarkan nilai histories. Penyesuaian atas besaran keuangan
untuk inflasi guna mencerminkan nilai harga umum atau tingkat harga umum dan
penggunaan nilai yang telah disesuaikan tersebut dalam akuntansi. Perubahan
tingkat harga umum dapat dihitung atau diukur dengan indeks harga. Indeks harga
yang biasa digunakan adalah indeks harga konsumen, yaitu suatu indeks yang
menyajikan perubahan periodic dalam biaya kelompok barangbarang terpilih yang dibeli
konsumen yang digunakan sebagai ukuran inflasi.
Laporan keuangan (financial statetment) yang selama
ini kita kenal adalah laporan yang Lebih mengedepankan unsur keandalan
(reliabilitas) dari pada relevansinya. Oleh karena itu, salah satu prinsip penyusunan
laporan keuangan digunakan adalah biaya historis (historical cost accounting).
Artinya, laporan keuangan disusun berdasarkan harga perolehannya (historical
cost). Konsep ini mengabaikan adanyinflasi yang nyata-nyata terjadi pada setiap
negara. Inflasi akan mempengaruhi nilai dari setiap angka yang tersaji dalam
laporan keuangan yang membuat informasi yang terkandung dalam laporan keuangan
menjadi terdistorsi. Seperti yang dibahas sebelumnya GPLA satu konsep akuntansi
inflasi yang merubah satuan pengukuran, tetapi tetap mempertahankan model
pelaporan atas dasar historical cost. Tujuan pendekatan ini adalah untuk
mempertahankan nilai modal menurut harganya yang tetap dengan ukuran indeks
harga.
Dalam GPLA, akun-akun dalam laporan keuangan
historis dikelompokkan menjadi pos moneter dan pos non moneter, kemudian
diperlakukan sesuai dengan karakteristiknya. Akun moneter tidak terpengaruh
perubahan harga, sehingga telah mencerminkan tingkat harga umum yang berlaku.
Pemilikan akun-akun moneter akan menimbulkan keuntungan atau kerugian daya
beli. Sebaliknya, akun non moneter terpengaruh perubahan harga, nilainya tidak
mencerminkan tingkat harga umum yang berlaku, sehingga harus disesuaikan dengan
suatu faktor konversi yang mencerminkan tingkat harga umum yang berlaku berupa
indeks harga konsumen. Kas dan Piutang Dagang tidak perlu disesuaikan dengan
perubahan daya beli, tetapi pada laporan keuangan yang diperbandingkan perlu
ada kesamaan daya beli.
Persediaan dikonversikan, Besarnya harga perolehan
persediaan tergantung dengan metode yang digunakan (FIFO, LIFO, Rata-rata, dan
lain-lain) dan penggunaan metode tersebut harus konsisten. Pembayaran di muka
(prepayment) disajikan dalam laporan keuangan sesuai dengan perubahan daya beli
saat dilakukan pembayaran. Investasi disajikan dalam laporan keuangan sesuai
dengan perubahan daya beli saat investasi terjadi. Aktiva Tetap dalam laporan
keuangan disajikan sesuai dengan perubahan daya beli saat aktiva tersebut
dimiliki. Hutang Lancar tidak perlu dinilai kembali karena sudah secara
langsung mengikuti perubahan daya beli kecuali apabila ingin diperbandingkan
dengan laporan keuangan lainnya. Kontrak pemeliharaan/langganan (advances on
maintenance contracts) diukur dengan nilai konversi Hutang Jangka Panjang tidak
perlu dinilai kembali karena sudah secara langsung mengikuti perubahan daya
beli kecuali apabila ingin diperbandingkan dengan laporan keuangan lainnya.
Pajak yang Ditangguhkan (differed income taxes) dilaporkan dalam neraca sebesar
jumlah akumulasi dari penghematan pajak (tax savings) dan disajikan dalam
laporan keuangan setelah disesuaikan dengan perubahan daya beli sebesar nilai
yang akan dibayar, sehingga Pajak yang Ditangguhkan tidak perlu lagi
disesuaikan dengan perubahan daya beli.
Pendapatan dan biaya dapat diklasifikasikan menjadi
dua kelompok yaitu elemen moneter dan elemen non moneter. Sifat dari
rekening-rekening tersebut menjadi dasar dalam pengklasifikasiannya. Laporan
keuangan yang telah disusun dengan metode General Price Level Accounting
dibandingkan dengan laporan keuangan yang disusun dengan Historical Cost
Accounting. Kedua laporan keuangan dianalisis dengan menggunakan NOD (Number of
Dollar) attribute untuk mengetahui bahwa laporan keuangan tersebut
interpretative dan dianalisis dengan COG (Command Over Good) attribute untuk
mengetahui bahwa laporan keuangan tersebut relevan. Dari hasil analisis
tersebut selanjutnya dilakukan analisa. Elemen laporan keuangan dikatakan
relevan > 16 unit dan interpretatif bila selisih elemen yang telah disusun
berdasarkan dollar konstan dibagi dengan selisih unit sama dengan indeks harga
konsumen. Apabila prosentase elemen-elemen dalam laporan keuangan yang sesuai
dengan NOD attribute dan COG attribute > 50%, maka laporan keuangan tersebut
dapat dikatakan interpretatif dan relev
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa pada masa
inflasi, laporan keuangan GPLA lebih informatif dibanding historical cost,
namun material atau tidaknya perbedaan yang ditimbulkan GPLA tergantung
pengaruhnya terhadap perusahaan tersebut, sehingga GPLA bukan dimaksudkan untuk
mengganti laporan keuangan historical cost, tetapi hanya sebagai supplement
report untuk digunakan sebagai informasi tambahan dalam pengambilan keputusan
bagi pihak-pihak yang membutuhkan informasi laporan keuangan sehingga tujuan
dari pelaporan akuntansi terpenuhi. Hal ini didasari oleh pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan di Indonesia bahwa informasi tambahan antara lain mengenai
pengungkapan pengaruh perubahan harga bersifat tidak mengikat.
Sumber :
Dian Inda Sari. Universitas Sumatera Utara. AKUNTANSI INFLASI DALAM MENILAI RELEVANSI
LAPORAN KEUANGAN SUATU PERUSAHAAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar