Minggu, 21 April 2013

Cara Memakai Jilbab Dan Tutorial Hijab Modern



 Cara Memakai Jilbab Dan Tutorial Hijab Modern - untuk anda seorang wanita muslimah tentu saja sudah tidak asing dengan model jilbab modern 2013, khusus untuk tahun ini tentu saja setiap wanita ingin merubah penampilannya dengan gaya hijab / jilbab yang fresh dan terbaru. Tidak usah bingung akhwat semua, karena pada kesempatan ini kita akan memberikan beberapa tips Cara Memakai Jilbab atau Hijab Modern, bagaimana cara memakainya, step by step dan tentunya kita lengkapi dengan gambar agar akhwat semua bisa lebih mudah memahaminya.

Hana Tajima Style


Caranya :
1. Dalaman Ninja
2. Ambil pasmina kain satin buat sama panjang
3. Ambil tengahnya bawa ke belakang
4. sematkan pentul tuk menahannya
5. Ambil salah satu sisinya
6. Bawa ke sisi sebelahnya taruh di bawah sisi sebelah kanan
7 dan 8 sematkan di atas telinga tuk merapikannya
9. Tarik keluar sebagian yg di bawa k belakang
10. rapikan
11. sematkan pentul d atas kepala agar keliahatan rapi
12. Done


Pashmina Sifon Motif Ethnic


Caranya
 :
1.
Kenakan pashmina sifon dengan sisi kanan lebih panjang dari sisi kiri.
2.
Pentul bagian depan kanan dan kiri agar posisi pashmina rapi.
3.
Ambil bagian dalam sisi sebelah kanan yang panjang.
4.
Tempatkan di atas kepala dan dipentul.
5.
Sisi sebelah kiri digulung.
6.
Sematkan bros pada ujung yang sudah digulung tadi.


Hijab Modern 2013


Caranya :
1. Kenakan Jilbab berbahan paris menjadi bentuk segitiga.
2. Ambil sedikit sisi jilbab sebelah kiri ke arah depan lalu di kaitkan dengan jarum pentul.
3. Sisa Jilbab paris sisi kiri di tarik dari ujung bawah ke atas samping telinga sebelah kanan.
4. Sisi jilbab bagian kanan tarik ke arah belakang
5. Kaitkan jarum pentul di belakang telinga sebelah kanan.
6. Tarik sisanya ke arah dalam melewati leher bagian belakang ke arah sisi kiri.
7. DONE.


Tutorial Sweet Pashmina Two Tone


Caranya :
1. Pakai pashmina two tone dengan warna yang lebih gelap di bagian luar atau terserah ukhti semuanya ^^
2. sisi kanan kiri rapikan dengan jarum
3. tarik sisi sebelah kanan ke depan (warna yang lebih muda ditarik ke depan dan keatas jilbab)
4. sematkan jarum untuk merapikan
5. Dapat dilihat gradasi warna yang berbeda ;)
6. Persiapkan sisi sebelah kiri dengan warna yang gelap.
7. tarik ke atas searah dengan poin nomer 3, akan tetapi jangan menutupi poin nomer 3 tapi lebih menyerong agar terlihat tumpukan warna yang berbeda.
8. DONE ^^ FINISH Tutorial Sweet Pashmina Two Tone
 sumber : google

Tugas Ke III ,Aspek Hukum dalam Ekonomi,Dosen Ranti

Sebagai bagian dari hukum acara (formeel recht), maka Hukum Acara Perdata mempunyai ketentuan-ketentuan pokok yang bersifat umum dan dalam penerapannya hukum acara perdata mempunyai fungsi untuk mempertahankan, memelihara, dan menegakan ketentuan-ketentuan hukum perdata materil. Oleh karena itu eksistensi hukum acara perdata sangat penting dalam kelangsungan ketentuan hukum perdata materil.
Adapun beberapa pengertian hukum acara perdata menurut beberapa pakar hukum
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH
Beliau mengemukakan batasan bahwa hukum acara perdata sebagai rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata.
Prof. Dr. Sudikno Mertukusumo, SH
Member batasan hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menetukan bagaimana caranyamenjamin pelaksanaan hukum perdata material. Lebih kongkrit lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya, dan pelaksanaan dari pada putusannya.
Prof. Dr. R. Supomo, SH
Dengan tanpa memberikan suatu batasan tertentu, tapi melalui visi tugas dan peranan hakin menjelaskan bahwasanya dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata (burgerlijk rechtsorde) menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara.
Berdasarkan pengertian –pengertian yang dikemukakan diatas serta dengan bertitik tolak kepada aspek toeritis dalam praktek peradilan, maka pada asasnya hukum acara perdata adalah : Peraturan hukum yang mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses seseorang mengajukan perkara perdata kepada hakim/pengadilan. Dalam konteks ini, pengajuan perkara perdata timbul karena adanya orang yang merasa haknya dilanggar orang lain, kemudian dibuatlah surat gugatan sesuai syarat peraturan perundang-undangan.
Peraturan hukum yang menjamin, mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses hakim mengadili perkara perdata. Dalam mengadili perkara perdata, hakim harus mendengar kedua belah pihak berperkara (asas Audi Et Alterm Partem). Disamping itu juga, proses mengadili perkara, hakim juga bertitik tolak kepada peristiwanya hukumnya, hukum pembuktian dan alat bukti kedua belah pihak sesuai ketentuan perundang-undangan selaku positif (Ius Constitutum)
Peraturan hukum yang mengatur proses bagaimana caranya hakim memutus perkara perdata. Peraturan hukum yang mengatur bagaimana tahap dan proses pelaksanaan putusan hakim (Eksekusi).
B. Sumber-sumber hukum acara perdata.
Dalam praktek peradilan di Indonesia saat ini, sumber-sumber hukum acara perdata terdapat pada berbagai peraturan perundang-undangan.
HIR (Het Herzine Indonesich Reglemen) atau Reglemen Indonesia Baru, Staatblad 1848.
RBg (Reglemen Buitengwesten) Staatblad 1927 No 277
Rv (Reglemen Hukum Acara Perdata Untuk golongan Eropa)
Staatblad No 52 Jo Staatblad 1849 No.63. namun sekarang ini Rv tidak lagi digunakan karena berisi ketentuan hukum acara perdata khusus bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan dengan mereka dimuka (Raad van Justitie dan Residentiegerecht. Tetapi Raad Van Justitie telah dihapus, sehingga Rv tidak berlaku lagi. Akan tetapi dalam praktek peradilan saat ini eksistensi ketentuan dalam Rv oleh Judex Facti (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi) serta Mahkamah Agung RI tetap dipergunakan dan dipertahankan.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Undang-Undang.UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No.5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung, yang mengatur tentang hukum acara kasasi UU No.8 Tahuun 2004 Tentang Peradilan Umum. UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya. UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
C. Asas-Asas Hukum Acara Perdata Indonesia
Bertitik tolak kepada praktek peradilan Indonesia maka dapatlah disebutkan beberapa asas-asas umum hukum acara perdata Indonesia. Peradilan yang terbuka untuk umum (Openbaarheid Van Rechtsspraak)
Peradilan yang terbuka untuk umum merupakan aspek fundamental dari hukum acara perdata. Sebelum perkara disidangkan, maka hakim ketua harus menyatakan bahwa “persidangan terbuka untuk umum” sepanjang undang-undang tidak menentukan lain. (Mis : dalam perkara persidangan perkara perceraian siding dinyatakan tertutup untuk umum. Apabila hal ini tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal 19 Ayat 1 dan 2 UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Hakim bersifat Pasif (Lijdelijkeheid Van De Rehter) Dalam asas ini terdapat sebuah aturan yang dikenal dengan (Nemo Judex Sine Actore) yang artinya apabila gugatan tidak diajukan oleh para pihak, maka tidak ada hakim yang mengadili perkara bersangkutan. Mendengar Kedua belah pihak. Pemeriksaan dalam dua instansi (Onderzoek In Tween Instanties) Pengawasan Putusan Lewat Kasasi.
Peradilan dengan membayar biaya. Peradilan perkara perdata pada asanya dikenakan biaya perkara (Pasal 4 Ayat 2, Pasal 5 Ayat 2, UU No 4 Tahun 2004. Pasal 121 Ayat 4 HIR/Pasal 145 Ayat 4, 192, 194 RBg. Bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri setempat untuk berperkara secara Cuma-Cuma (ProDeo).
D. Susunan Badan Peradilan di Indonesia.
Menurut UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh mahkamah agung dan badan peradilan dibawahnya. Jenis dan dasar badan peradilan di Indonesia terdapat dalam pasal 10 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004, dikenal empat lingkungan peradilan di Indonesia yaitu :
1. Peradilan Umum (UU No 8 Tahun 2004)
2. Peradilan Agama (UU No 3 Tahun 2006)
3. Peradilan Militer (UU No 31 Tahun 1997)
4. Peradilan Tata Usaha Negara (UU No 9 Tahun 2004)
Keempat badan peradilan tersebut kesemuanya dibawah Mahkamah Agung RI. Berdasarkan pasal 11 (1) UU No 4 Tahun 2004. Mahkamah Agung RI merupakan pengadilan Negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana disebutkan diatas. Selanjutnya pada ayat dua (2) disebutkan, kewenangan Mahkamah Agung RI adalah :
Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan dimana semua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung.
Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Kewenangan lain yang diberikan undang-undang.
Peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai perkara perdata maupun pidana yang dijalankan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Di dalam peradilan umum diberntuk beberapa pengadilan khusus yang berada dilingkungan pengadilan negeri yaitu :
1. Pengadilan niaga (pasal 280 UU No.4 Tahun 1998 Tentang kepailitan)
2. Pengadilan anak (pasal 2 UU No.3 Tahun 1997 Tentang pengadilan anak)
3. Pengadilan hak asasi manusia (pasal 2 UU No.26 Tahun 2000 Tentang pengadilan HAM)
4. Pengadilan tindak pidana korupsi
5. Pengadilan hubungan industrial (pasal 1 angka 17 UU No.2 Tahun 2004 Tentang penyelesaian Perselisihan hubungan industrial.)
6. Pengadilan perikanan.
7. Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus karena mengadili perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Berdasarkan UU No.3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama, kewenangan pengadilan agama diperluas sebagaimana diatur dalam pasal 49 yaitu :pengadilan agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, infaq, zakat, dan ekonomi syari’ah.
http://tugasmakalahmuamalat.blogspot.com/2012/11/pengertian-hukum-perdata.html

Hukum perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu  terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian
Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
.Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).

Azas-azas dalam hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
· Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
· Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum

Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
Pembaharuan utang (inovatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada tiga macam novasi yaitu :
1) Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2) Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.
Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
– Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
- Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
- Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
Pembebasan utang
Undang-undang tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
Musnahnya barang yang terutang
Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi. Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan, maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.
Syarat yang membatalkan
Yang dimaksud dengan syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada sejak dipenuhinya syarat itu.
Kedaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam
lampau waktu, yaitu :
(1). Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang, disebut
”acquisitive prescription”;
(2). Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan
dari
tuntutan, disebut ”extinctive prescription”; Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah daluwarsa lebih singkat dan praktis.
http://p4hrul.wordpress.com/2012/04/19/hukum-perikatan/
Contoh kasus perikatan
JAKARTA - Komisi I DPR mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan PT Prima Jaya Informatika (PJI) dan Yayasan Olahraga Indonesia, Selasa, 9 Oktober kemarin. Hadir dalam kesempatan itu Direktur PT. PJI Tonny Djayalaksana. 

Dalam keterangannya, Tonny berupaya melakukan pembelaan dihadapan anggota dewan. Dia menyoroti sikap Telkomsel yang sengaja melakukan pemutusan hubungan kerjasama, yang menurutnya ada kejanggalan dalam pemutusan kerja sama dengan Telkomsel.

"Ada dua faktor yang janggal dalam pemutusan kerja sama. Yang pertama PT. PJI dianggap sebagai direksi lama, jadi segala sesuatu yang terkait direksi lama di cut off. Dan yang menjadi faktor kedua ada kesan ingin mematikan bisnis distribusi PT. PJI," kata Tonny.

Menurut versi PT. PJI, pergantian direksi Telkomsel dilakukan pada 16 Mei dan selang beberapa hari, tepatnya pada 30 Mei 2012, salah satu staff perusahaan telekomunikasi itu mengirimkan surat pemutusan kerja sama ke PT. PJI.

Berikut petikan surat yang dikirimkan Telkomsel melalui email kepada PT. PJI yang dibacakan Tonny saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi I:

Per 30 Mei, Kami baru saja mendapatkan informasi dari management terkait distribusi kartu prima, sehubungan dari pergantian direksi kami yang baru, pada siang ini, diputuskan dan diperintahkan oleh direksi yang baru untuk distribusi kartu prima dan vouchernya ditunda sampai batas waktu yang belum ditentutak, jika ada informasi terbaru mengenai keputusan distribusi kartu prima beserta vouchernya akan kami informasikan secepatnya, untuk itu kami atas nama Telkomsel, memohon maaf atas keputusan yang cukup mendadak ini."

Itulah yang menjadi sebab yang akhirnya berdampak pada gugatan pailit, dimana pemutusan kerjasama sepihak yang nilainya mencapai Rp200 miliar pada Juni 2012 lalu, dianggap telah merugikan PT. PJI.

Seperti diketahui, menurut kesepakatan, kerjasama sejak diteken per 1 Juni 2011, kerjasama semestinya berlaku selama tiga tahun atau hingga 1 Juni 2013 mendatang. Kerjasama dalam bentuk distribusi kartu voucher isi ulang dan kartu perdana prabayar berdesain atlet nasional.

Selanjutnya, PN Jakpus mengabulkan permohonan PT Prima Jaya terhadap Telkomsel. Pengadilan menyatakan bahwa PT Telkomsel pailit dan menunjuk hakim pengawas dari PN Jakpus untuk mengawal kepailitan PT Telkomsel.

Akibat putusan pailit dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Telkomsel mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Berkas kasasi yang diajukan pada 21 September akan diterima MA pada pekan ini.

Anggota Komisi I Roy Suryo mengatakan, pihaknya saat ini hanya memiliki wewenang untuk mendengarkan duduk persoalan dari kedua belah pihak. "Kami mencoba untuk terbuka dan mendengarkan penjelasan dari kedua belah pihak," ungkapnya.

Roy pun menolak memberikan komentar sejumlah kabar kejanggalan yang terjadi dalam putusan pailit Telkomsel.

"Saya tidak dapat mengomentari kabar-kabar diluar wewenang Komisi I, kami disini hanya menginginkan kasus yang menimpa Telkomsel tidak berdampang ke pelanggan," jelasnya.
http://techno.okezone.com/read/2012/10/10/54/701717/large

HUKUM PERJANJIAN

Pengertian Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :
a. Perbuatan,
Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,
Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
c. Mengikatkan dirinya,
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
Standart Kontrak
a)      Menurut Remi Syahdeini,
keabsahan berlakunya kontrak baru tidak perlu lagi dipersoalkan karena kontrak baru eksistensinya sudah merupakan kenyataan. Kontrak baru lahir dari kebutuhan masyarakat. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung dengan kontrak baru yang masih dipersoalkan. Suatu kontrak harus berisi :
1. Nama dan tanda tangan pihak-pihak yang membuat kontrak.
2. Subjek dan jangka waktu kontrak
3. Lingkup kontrak
4. Dasar-dasar pelaksanaan kontrak
5. Kewajiban dan tanggung jawab
Pembatalan kontrak
b) Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi 2 yaitu umum dan khusus.
  1. Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.
  2.  Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Macam-macam Perjanjian
      Macam-macam perjanjian obligator ialah sebagai berikut;
  • Perjanjian dengan Cuma-Cuma  dan Perjanjian Dengan Beban.
  1. Perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
  2. Perjanjian Dengan Beban adalah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
  • Perjanjian Sepihak dan Perjanjian Timbal Balik.
  1. Perjanjian Sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja
  2. Perjanjian Timbal Balik adalah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
  • Perjanjian Konsensuil, Formal dan, Riil.
  1. Perjanjian Konsensuil adalah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
  2. Perjanjian Formil adalah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis.
  3. Perjanjian Riil adalah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
  • Perjanjian Bernama, Tidak Bernama dan, Campuran.
  1. Perjanjian Bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA.
  2. Perjanjian Tidak Bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
  3. Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.
Syarat-Syarat Syahnya  Suatu Perjanjian
Ada 4 syarat yaitu : (pasal 1320 KUHPer):
Syarat Subyektif :
- Sepakat untuk mengikatkan dirinya;
- Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Syarat Obyektif  :
- Mengenai suatu hal tertentu;
- Suatu sebab yang halal.
Saat Lahirnya Perjanjian
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
  1. Kesempatan penarikan kembali penawaran;
  2. Penentuan resiko;
  3. Saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
  4. Menentukan tempat terjadinya perjanjian
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
  • Teori Pernyataan (Uitings Theorie). Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
  • Teori Pengiriman (Verzending Theori). Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
  • Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie). Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
  • Teori penerimaan (Ontvangtheorie). Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak.

Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
  1. Pelaksanaan kontrak
Salah satu pasal yang berhubungan langsung dengan pelaksanaannya adalah pasal 1338 ayat 3 yang berbunyi ”suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan etiket baik” . Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan, pemberlakuan asas tersebut dalam suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu :
  • Fungsi melarang, artinya bahwa suatu kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan
  • Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau dilaksanakan dengan asas kepatutan. Dalam hal ini kedudukan asas kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa isian tersebut, maka tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai
Pembatalan perjanjian
Pembelokan pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh kesalahan salah satu pihak konstruksi tersebut dikenal dengan sebutan wanprestasi atau ingkar janji.
Wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak.
Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu :
  1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali
  2. Terlambat memenuhi prestasi, dan
  3. Memenuhi prestasi secara tidak sah.
Akibat munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada pihak yang dirugikan untuk menuntut penggantian kerugian yang dideritanya terhadap pihak yang wanprestasi. Pihak yang wansprestasi memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian.
 sumber: http://franzgriuz.wordpress.com/2013/04/09/hukum-perjanjian-dan-contoh-kasus/

Contoh kasus perjanjian
yang terjadi baru-baru ini, dapat dilihat pada suara pembaca detik.com tanggal 12 April 2011 yang berjudul “Dipaksa Menandatangani Perjanjian Disertai Ancaman Hukum.” Yang menceritakan kisah LB, karyawan perusahaan portal lowongan kerja yang berkantor di wilayah Slipi, Jakarta Barat. Meskipun LB berstatus karyawan di perusahaan asing tersebut, LB tidak menerima gaji sebagaimana layaknya karyawan di perusahaan sejenis di tempat lain, karena setiap bulannya LB hanya menerima kompensasi apabila ada penjualan. Singkat cerita, karena LB memutuskan untuk meninggalkan perusahaan tersebut dan bergabung dengan perusahaan lain di industri yang sama, General Manager (GM) perusahaan asing tersebut melarang LB untuk pindah ke perusahaan lain, dan ’memaksa’ LB menandatangani surat perjanjian. Bahkan LB berkali-kali diancam akan diseret ke meja hijau oleh perusahaan asing tersebut.

Kalau sudah begini keadaannya, saya jadi mempertanyakan peranan Pemerintah khususnya departemen Tenaga Kerja dalam memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia yang memperjuangkan kesejahteraan hidupnya dan keluarganya? Apakah kekuasaan yang dimiliki oleh kaum kapitalis di Indonesia dapat mengontrol atau bahkan membukam pemerintah? Padahal, apabila kita berpedoman pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” seharusnya kasus LB tidak pernah terjadi di Indonesia.