Selasa, 28 April 2015

Translasi Mata Uang

Translasi Mata Uang : Hedging dalam Pandangan Syariah
Sebelum terjadinya krisis mata uang di Asia khususnya Asia Tenggara, kawasan ini masih dinilai sebagai kawasan yang mempunyai iaju pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan oleh sebagian besar pakar dan lembaga keuangan internasional namun sebenarnya telah ada pula yang mengingatkan bahwa pertumbuhan tersebut lebih bersifat semu seperti gelembung sabun atau balon karena tidak mencerminkan fundamental ekonomi yang kuat, yang tidak lain adalah kekuatan riil ekonomi dengan tingkat produktifitas yang tinggi dan efisiensi ekonomi yang optimal. Meskipun tidak semua mengakui secara terus terang tetapi disadari sepenuhnya bahwa sistem ekonomi yang berbasis kapitalis dan interest base serta menempatkan uang sebagai komoditi yang diperdagangkan bahkan secara besar-besaran ternyata memberikan implikasi yang serius terhadap kerusakan hubungan ekonomi yang adil dan produktif. Kejadian fenomenal dan menggugah kesadaran berbagai pihak untuk setidak-tidaknya tergerak mempelajari lebih jauh kebenaran argumentasi yang muncul tentang kerusakan sistem keuangan dunia, bahkan belakangan Soros pun sudah mulai mengkritik sistem kapitalis yang kelewat bebas dalam pengaturan arus keuangan dunia. Secara politis dan praktis upaya memperkenalkan sistem keuangan berdasarkan pandangan Islam tersebut masih harus melewati jalan panjang tidak saja dari segi pemantapan fondasi teoritis dan praktis tetapi iebih dari itu diperlukan kekuatan untuk meyakinkan kelompok pelaku utama keuangan internasional dan negara maju bahwa sistem keuangan yang berbasis pada prinsip ekonomi Islam dapat menjamin terselenggaranya perekonomian dunia yang lebih adil dan membawa kesejahteraan umat manusia sesuai dengan konsep Islam "rahmatan lil alamin"

Sejalan dengan upaya untuk memposisikan industri perbankan syariah sebagai fasilitator kegiatan transaksi keuangan yang komprehensif, termasuk fasilitator kegiatan perdagangan internasional (trade finance), instrumen lindung nilai ataupun skema dan mekanisme yang dapat meminimalkan pengaruh negatif dari fluktuasi indikator keuangan menjadi sangat penting. Dibandingkan dengan industri perbankan konvensional, perbankan syariah masih belum dapat menggunakan instrumen lindung nilai yang ada seperti forward, future, options dan swap. Posisi perbankan syariah tersebut tidak dapat dilepaskan dari kerangka pemikiran syariah, instrumen-instrumen tersebut diindikasikan mengandung unsur gharar (ketidaksempurnaan informasi dalam kontrak), riba (transaksi berbasis bunga) dan maysir (transaksi spekulatif) yang tidak diperkenankan dalam prinsip syariah. Oleh karena itu secara praktis, perbankan syariah belum dapat mengimplementasikan manajemen risiko yang efisien khususnya yang terkait dengan fluktuasi nilai tukar. Hal ini mendorong upaya untuk mencari solusi yang dapat digunakan untuk mengisi kekosongan di dalam pengelolaan risiko nilai tukar bagi bank syariah. Adapun yang menjadi permasalahan utama dalam instrumen hedge yang ada adalah tidak diperkenankannya: 1). penetapan harga premium dengan basis bunga, 2). penetapan nilai jual valuta saat ini untuk penyerahan dimasa yang akan datang,  dan 3). jual beli instrumen berbasis hutang.

Pada mekanisme hedge, risiko nilai tukar yang dihadapi oleh perbankan syariah berasal dari mismatch nilai tukar antara domestic currency sebagai modal kerja bank (working capital) dan volatilitas harga foreign currency dalam pembiayaan yang dilakukan sebagai akibat adanya perbedaan waktu eksekusi dana dan pengembalian dana oleh debitur kepada bank syariah. Adapun pembiayaan bank syariah yang memiliki eksposur nilai tukar antara lain credit line, L/C, dan guarantee. Selanjutnya beberapa area produk yang dibahas dalam paper meliputi forward, future, options, dan swap sebagai instrumen hedge yang akan dilakukan filterisasi terhadap prinsip syariah (riba, gharar, dan maysir) sehingga didapatkan kelemahan dari aspek syariah untuk instrumen yang ada. Kelemahan tersebut di-eliminir sehingga dapat dikembangkan menjadi produk ataupun mekanisme hedge yang memenuhi kelayakan (feasibility) dari sisi syariah. Sementara itu, selain dari sisi feasibility juga perlu ditinjau dari sisi keterpakaian (viability) terhadap produk (forward, future, options, dan swap) dan mekanisme pricing yang ada terhadap produk ataupun mekanisme hedge yang feasible. Hasil akhir dari kajian ini adalah rekomendasi produk ataupun mekanisme hedge bagi perbankan syariah.

Instrument Hedge
Pembahasan instrumen hedge yang akan dibahas pada paper ini meliputi empat bentuk produk plain-vanilla yang meliputi: forward, futures, options, dan swaps. Instrumen-instrumen tersebut telah secara luas digunakan dalam transaksi keuangan konvensional dan menjadi dasar transaksi instrumen derivatif yang lebih kompleks.

 1. Forward, Kontrak forward secara umum digunakan dalam melakukan mitigasi atau pengelolaan  terhadap risiko  kedepan yang melekat pada underlying assets-nya seperti halnya fluktuasi nilai dari sebuah mata uang tertentu . Jadi pengertian umum kontrak forward adalah kontrak tunai dimana dua pihak setuju untuk melakukan pertukaran aset (contohnya, nilai tukar atau valas) untuk dilakukan penyerahan oleh penjual kepada pembeli pada sejumlah waktu tertentu di masa yang akan datang. Pada kontrak forward  terdapat dua pihak yang terlibat yaitu pihak yang bersedia mengirimkan underlying asset yang ditentukan sebagai pihak berada dalam posisi short (pihak penjual) dan pihak yang bersedia menerima underlying asset dimaksud sebagai pihak yang berada dalam posisi long (pihak pembeli).
2. Future, Kontrak future konvensional memiliki kesamaan dengan kontrak forward kecuali dalam penentuan harga yang bersifat marked to market yang diikuti oleh pertukaran cash secara harian antara dua pihak (pihak yang untung dan pihak yang mengalami kerugian) sebagai proses penyelesaian transaksi harian. Sementara itu, menurut Torben Juul Andersen pengertian dari kontrak future adalah komitmen legal bagi penjual untuk melakukan pengiriman atas underlying assets dan bagi pembeli untuk menerima underlying assets tersebut dalam kualitas dan kuantitas yang terstandarisasi pada satu waktu tertentu. Kontrak future sendiri diperjualbelikan dalam pasar future. Komoditas dalam kontrak tersebut diawali oleh pasar bahan dasar seperti hasil pertanian dan hasil tambang. Perkembangan pasar tersebut didorong oleh standarisasi terhadap kontrak futures sehingga memudahkan proses pertukaran antar kontrak dalam bursa perdagangan di pasar futures.

Hakikat terbentuknya pasar future merupakan sebuah bentuk fasilitas kerjasama dalam berbagi risiko antara pihak yang pemilik risiko dengan pihak lain yang mau menanggung risiko dari pihak pemilik risiko. Future trading oleh para produsen dijadikan sarana untuk melakukan lindung nilai, yaitu startegi untuk mengurangi risiko yang diakibatkan oleh fluktuasi harga. Sedangkan dalam perkembangan selanjutnya, para spekulator atau spekulan dari pemilik modal mulai melihat bahwa kontrak ini sangat menarik untuk dikembangkan menjadi instrumen untuk spekulasi. Seorang spekulator dapat saja membeli kontrak future untuk penyerahan di masa datang, dan mulai spekulasi dengan perkiraan harga komoditas pada saat penyerahan. Sehingga dalam hal ini para spekulator mengambil alih risiko dari para petani. Sejak saat itulah terjadinya futures market sebagai pasar untuk spekulasi para spekulan.

3. Option, Opsi adalah kontrak dimana salah satu pihak menyetujui untuk membayar sejumlah imbalan kepada pihak yang lainnya untuk suatu "hak" (tetapi bukan kewajiban) untuk membeli sesuatu atau menjual sesuatu kepada pihak yang lainnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau disepakati (Suwarno (2003)); misalnya saja ada seseorang yang khawatir bahwa harga dari stok XXX akan turun sebelum ia sempat menjualnya, maka ia membayar imbalan kepada seseorang lainnya (ini disebut "penjual" opsi jual /put option) yang menyetujui untuk membeli stok daripadanya dengan harga yang ditentukan didepan (strike price). Pembeli menggunakan opsi ini untuk mengelola resiko turunnya nilai jual dari stok XXX yang dimilikinya, dilain sisi si pembeli opsi mungkin saja menggunakan transaksi opsi tersebut untuk memperoleh imbalan jasa dan mungkin telah memiliki suatu gambaran bahwa nilai jual XXX tersebut tidak akan turun. Sebagai lawan dari opsi jual adalah opsi beli atau biasa disebut call option dimana pada opsi beli ini memberikan opsi kepada pembeli opsi hak untuk membeli aset acuan (underlying asset) pada suatu tanggal yang disepakati dengan harga yang telah ditetapkan atau yang dikenal dengan istilah option strike.

4. Swap, Secara umum penggunaan transaksi swap dalam industri perbankan konvensional dilakukan atas dua jenis underlying asset yaitu nilai tukar dan suku bunga. Oleh sebab itu pengertian dari swap itu sendiri merujuk kepada underlying assets yang digunakan, dimana swap dalam konteks nilai tukar mengandung pengertian sebagai aktivitas pembelian dan penjualan mata uang secara simultan dalam nilai yang sama untuk waktu jatuh tempo yang berbeda dengan harga kontrak swap dihitung berdasarkan selisih harga mata uang atas dua periode jatuh tempo. Sementara itu, pengertian swap dalam suku bunga adalah perjanjian untuk melakukan penukaran pembayaran jenis suku bunga dalam kewajiban yang dimiliki yaitu suku bunga tetap menjadi suku bunga mengambang ataupun sebaliknya. Adapun mekanisme pricing swap untuk suku bunga adalah selisih hasil deposit dana atas suku bunga yang di-swap dalam jangka waktu yang disepakati (nilai deposit atas suku bunga tetap dan nilai deposit atas suku bunga mengambang dalam periode yang sama sesuai kesepakatan)(Fitch(1990)). Perjanjian swap adalah transaksi pertukaran dua valuta melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan/pembelian kembali secara berjangka yang dilakukan secara simultan dengan bank yang sama dan pada tingkat premi atau diskon dan kurs yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.

Prinsip Dasar Pengelolaan Risiko dalam Syariah

Risiko merupakan salah satu bentuk dari kesulitan atau hal yang tidak diharapkan meskipun hal tersebut timbul sebagai konsekuensi dari aktivitas ekonomi. Akan tetapi sebuah nilai dalam membuat sebuah keputusan ekonomi bukan hanya ditentukan oleh risikonya tetapi lebih kepada terciptanya kesejahteraan dan nilai yang bisa diperoleh. Risiko dapat menggambarkan nilai, tetapi bukan risiko itu sendiri yang menentukan sebuah nilai. Hal ini merepresentasikan perbedaan penting antara risiko terkalkulasi dan risiko yang merugikan. Risiko terkalkulasi diperlukan dalam terwujudnya sebuah nilai. Namun demikian, penciptaan nilai tambah dalam perhitungan risiko dapat digolongkan sebagai bagian dari maysir. Pemikiran tersebut diturunkan dari tulian Ibnu Taymiah sekitar 670 tahun yang lalu sebagai berikut:

Risiko itu terbagi dua: risiko komersial (commercial risk), dimana seseorang akan membeli suatu barang dengan tujuan untuk menjual barang tersebut dan berserah diri kepada Allah atas hal tersebut. Risiko ini berlaku untuk para pedagang, sekalipun seseorang mungkin menderita kerugian, namun hal ini natural terjadi dalam perdagangan. Jenis risiko lainnya adalah gambling, yang dilarang oleh Allah dan RasulNya.

Para ahli keuangan syariah menggolongkan risiko ke dalam 2 jenis yaitu: yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima. Agar suatu risiko dapat diterima, terdapat tiga komponen yang mencirikannya yaitu: inevitability (tidak dapat dihindarkan); insignificance dan unintentional (lihat al-Dharir [12], hal.587-612, Hasan [7], hal. 464-469)).

Instrumen Hedge Konvensional dalam Pandangan Syariah

Lindung nilai pada dasarnya belum diterima sepenuhnya oleh para ahli fiqih terutama praktek lindung nilai yang pada umumnya menitikberatkan pada resiko yang berkaitan dengan fluktuasi nilai tukar. Masalah ini timbul khususnya pada timbulnya riba, gharar dan maysir dalam transaksi tersebut.

1. Kontrak Forward, Dalam kontrak forward, potensi riba terjadi pada saat jual beli instrumen forward dimana harga instrumen forward didasarkan atas nominal uang dalam kontrak jual beli yang akan dilindung nilai berupa persentase (interest). Sementara itu, kondisi gharar dalam instrumen lindung nilai berupa forward adalah penentuan harga mata uang saat ini untuk pembelian mata uang bersangkutan di masa yang akan datang. Akhirnya, prinsip terakhir yaitu kondisi maysir juga terjadi dalam instrumen forward pada saat instrumen tersebut diperjualbelikan dalam pasar derivatif sebagai bentuk tindakan spekulatif yang hanya mengejar keuntungan tanpa adanya barang dan jasa yang dihasilkan

2. Kontrak Future, Kontrak future secara nyata melanggar prinsip syariah berupa larangan menjual sesuatu yang tidak ada atau sesuatu yang tidak dimiliki sebagai bentuk gharar (Obaidullah). Larangan tersebut dalam mahzab Syafi’i bersifat umum dan berlaku bagi semua komoditas. Sedangkan dari sudut pandang mahzab Hanafi menyatakan larangan terhadap penjualan kembali sesuatu yang belum diterima atau belum dimiliki sepenuhnya kecuali sesuatu tersebut merupakan properti riil.  Mahzab Hanafi tersebut didasarkan bahwa larangan penjualan kembali tersebut didasarkan pada pelanggaran prinsip syariah berupa bebas gharar. Sementara itu, hakikat transaksi kontrak future merupakan jual beli kontrak yang belum jatuh tempo yang tergolong dalam jual beli hutang atau bai-al-dayn-bi-al-dayn yang termasuk golongan riba dan merupakan bentuk maysir

3.Kontrak Option. Secara umum, menurut the Islamic Fiqh Academy, Jeddah bahwa kontrak option yang saat ini digunakan dalam pasar keuangan dunia merupakan sebuah tipe kontrak baru yang tidak memiliki padanan pada akad-akad dalam syariah. Hal ini didasarkan pada subyek kontrak yang merupakan sejumlah uang ataupun kemanfaatan (hak khusus) dalam keuangan yang dapat dihapuskan sehingga kontrak dimaksud dilarang dalam syariah (Obaidullah (2005)). Penjelasan yang lebih khusus sebagaimana yang dikatakan oleh Mufty Taqi Usmani bahwa perjanjian dalam kontrak option dapat diterima secara syariah, tetapi perdagangan dan pengenaan harga premium dalam kontrak tersebut itulah yang tidak dapat diterima dalam syariah (Rohmah et.al. (2005)). Kedua pendapat diatas menegaskan bahwa isu utama dalam kontrak option adalah masalah riba. Permasalahan lainnya yang menjadi isu utama dalam transaksi option adalah gharar dan maysir sebagai akibat adanya jual beli kontak option itu sendiri dalam pasar sekunder

4. Kontrak SWAP, Sebagaimana dijelaskan di atas, metode penetapan harga dalam kontrak (instrumen) swap dengan menggunakan rate atau bunga atas transaksi jual beli valuta yang bersangkutan dalam pasar keuangan sehingga dalam syairha kondisi ini termasuk dalam riba. Sementara itu, penetapan harga diawal untuk pembelian valuta menimbulkan permasalahan dalam prinsip syariah berupa gharar. Lebih lanjut, pelanggaran prinsip syariah berupa maysir dapat terjadi bila kontrak swap tersebut diperjualbelikan dalam pasar keuangan. Selain ketiga prinsip syariah yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat pelanggaran prinsip syariah lainnya yaitu kontrak yang disertai persyaratan atas kontrak ataupun transaksi lainnya (dua perjanjian yang saling terkait) dimana kondisi tersebut termasuk dalam ta’aluq

Kesimpulan dari analisis kesesuaian terhadap prinsip syariah diatas menunjukkan bahwa permasalahan utama dalam instrumen lindung nilai yang ada saat ini (forward, future, options, dan swap) terhadap kepatuhan merupakan penetapan harga premium berbasis rate atau bunga, penetapan harga jual valuta saat ini untuk penyerahan di masa yang akan datang dan jual beli kontrak tersebut di pasar keuangan. Lebih jauh lagi, fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) dalam jual beli valuta adalah dilakukan secara spot dan indeks jualbeli valuta untuk masa yang akan datang berdasarkan prinsip syariah juga belum tersedia sehingga penerapan maupun modifikasi instrumen konvensional menjadi instrumen derivatif yang memenuhi prinsip syariah adalah tidak dapat dilakukan.
pengembangan lindung nilai dalam perbankan syariah harus diarahkan dari pendekatan komersial (tijari) yang berorientasi terhadap jual beli instrumen hedge menjadi pendekatan investasi dan tolong menolong atau berbagi risiko (ta’awun). Hal ini didasarkan pada konsep pengelolaan risiko dalam syariah menekankan pada risk sharing dan menghindari adanya risk transfer. Perbedaan antara risk sharing dan risk transfer terletak pada usaha untuk mengindari risiko dimana transfer risk ditempuh melalui pembelian sebuah instrumen yang dapat meng-cover risiko yang dihadapi, sedangkan risk sharing merupakan usaha bersama baik berupa aktivitas finansial maupun aktivitas bisnis untuk meng-cover risiko yang akan dihadapi dikemudian hari. Lebih lanjut dalam kerangka hedge, bank syariah menghadapi risiko nilai tukar atas transaksi dalam perdagangan luar negeri sehingga membutuhkan dana talangan yang dapat digunakan untuk meng-cover kemungkinan kerugian atas volatilitas nilai tukar pada saat kewajiban bank syariah tersebut jatuh tempo di masa yang akan datang. Dengan menggunakan konsep tolong -menolong (ta’awun) maka penghimpunan dana talangan tersebut dilakukan secara bersama-sama oleh perbankan syariah dan lembaga lain atas dasar sukarela (Islamic hedge fund). Namun demikian, kondisi volatilitas nilai tukar tidak selamanya mengakibatkan kerugian atau dengan kata lain mendatangkan keuntungan dimana setiap peserta dalam dana talangan tersebut memiliki porsi atas keuntungan tersebut sesuai kontribusinya. Untuk itulah skema dalam hedge dengan menggunakan Islamic hadge fund menggunakan akad kafalah terutama untuk skema penjaminan nilai tukar dan menggunakan prinsip kemitraan berdasarkan akad mudharabah dan musyarakah untuk skema investasi (berkaitan dengan keuntungan atas volatilitas nilai tukar).


 Sumber :
Achmad Baraba. PRINSIP DASAR OPERASIONAL PERBANKAN SYARIAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar